Jakarta (ANTARA News) - Bagi siapapun yang ingin belajar ilmu kehumasan sejati, public relation tanpa pamrih yang penuh keikhlasan, maka Sutopo Purwo Nugroho adalah guru terbaik.

Kisah pria asal Boyolali Jawa Tengah, dalam sewindu sebagai Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu layak dicatat sebagai referensi bagi dunia kehumasan yang zonder pretensi.

Di tengah sakit kanker paru-paru stadium lanjut yang diidapnya, Sutopo setia melaksanakan tugas dan berada di garis terdepan melawan hoaks sekaligus membuka ruang informasi seluas-luasnya tanpa ada satupun yang ditutupi.

Maka membaca kisah Sutopo sama seperti membuka lembar-lembar kamus yang berisi definisi dedikasi tingkat tinggi, tanpa pamrih, dan keikhlasan dalam bekerja.

Malam di saat banyak yang sudah tertidur nyenyak, belum genap tiga hari sejak gempa tsunami Donggala-Palu, ia mengirimkan pesan yang seketika menjadi viral.

Bukan siaran pers yang selalu press klaar yang biasa ia kirimkan melainkan permohonan maaf karena belum bisa melayani teman-teman wartawan dengan pelayanan terbaiknya.

"Mohon Maaf, Belum Bisa Melayani Media Dengan Prima"

Saat bencana, apalagi jumlah korban dan dampak bencananya besar seperti gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, seperti ini. Pasti media, masyarakat, dan lainnya meminta saya terus menyampaikan update data. Bahkan pihak Istana dan Kementerian lain juga meminta informasinya.

Namun kami juga memiliki keterbatasan akses data dan informasi ke lapangan. Apalagi kondisi listrik dan komunikasi ke Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong juga lumpuh. Sangat sulit kami mengakses data dan update penanganan.

HP saya tak berhenti berdering. Whatsapp pertanyaan dari media dan lainnya juga terus masuk. Banyak sekali telpon yang saat saya angkat ternyata bukan hanya dari media. Tapi dari staf Kedutaan, Konsuler, Kementerian/Lembaga, dan masyarakat yang menanyakan kondisi di Sulteng sana.

Entah memperoleh nomor telepon dari mana, banyak masyarakat yang menanyakan ke saya tentang orangtuanya, anak, saudara, kerabat, teman dan lainnya yang belum dapat dihubungi sampai saat ini di tempat bencana sana. Orang asing pun banyak yang telpon atau whatsaap menanyakan korban dan penanganan.

Saya harus melayani dan menjelaskan semuanya. Harus sabar, telaten dan membesarkan hati masyarakat yang kehilangan saudaranya. Komunikasi memang lumpuh. Saya sendiri kesulitan mencari data.

Jadi mohon maaf teman-teman media saya  tidak dapat melayani wawancara satu per satu. Jika ada update pasti segera saya sampaikan di wag Medkom. Total ada 6 wag medkom, 14 wag wapena (wartawan lokal) dan 1 wag pers BNPB yang harus saya berikan info terus menerus. Ada lebih 3.000an wartawan yang harus saya layani. Saya broadcast melalui wag dan japri semua info bencana.

Mohon maaf saya tidak dapat menjawab pertanyaan lisan dan tulisan satu per satu. Mohon maaf tidak bisa wawancara ke studio.

Kondisi saya masih sakit. Masih pemulihan dari kanker paru-paru. Fisik rasanya makin lemah. Nyeri punggung dan dada kiri menyakitkan. Rasa mual, ingin muntah, sesak napas, daan lainnya saya rasakan. Bahkan tulang belakang saya sudah bengkok karena tulang terdorong massa kanker, makanya jalan saya miring.

Tapi saya tetap berusaha melayani rekan-rekan media dengan baik. Setiap hari saya gelar konprensi pers dan saya siapkan bahan paparan yang lengkap agar media tidak salah kutip. Semua data yang saya miliki selalu saya berikan utuh. Tak ada yang saya sembunyikan. Selalu update dan berusaha melayani dengan prima kepada media.

Saat konperensi pers jika ada media yang bertanya saya jelaskan dengan panjang, lengkap, dan kadang berulang-ulang kayak saya memberi kuliah mahasiswa. Agar menulis beritanya tidak salah.

Di medsos khususnya di twitter dan IG saya berusaha juga update karena masyarakat luas menunggu.

Namun, mohon maaf kondisi fisik saya tidak bisa ditipu. Sakit kanker paru-paru stadium 4B yang telah menyebar di beberapa bagian tubuh menyebabkan saya lemah. Rasa sakit yang mendera juga menyebabkan sulit untuk tidur nyenyak.

Sekali lagi, mohon maaf saya tidak dapat melayani dengan prima semua pertanyaan rekan-rekan media. Jika sehat pasti saya lakukan kapanpun, dimana pun, bagaimanapun selama 24 jam 7 hari seminggu.

Dengan keterbatasan yang ada mohon dimaafkan jika ada pertanyaan yang tidak dijawab. Penggilan telpon yang tidak diangkat. Undangan wawancara yang tidak bisa dipenuhi hadirnya.

Saya akan tetap melakukan konpresensi pers setiap hari selama darurat ini. Materi pasti saya siapkan. Saat konpres silakan tanya sepuasnya. Tapi jangan pertanyaan asal-asalan dan hanya cari-cari kesalahan. Tanyalah yang berkualitas dan bermutu agar saya menjawabnya juga puas. Lebih wawancara bersama-sama agar efektif waktunya.

Saya masih bisa menolak  wawancara dengan media. Tapi dengan masyarakat yang kehilangan saudaranya saat ini saya harus menjelaskan dan membantu dengan sabar.

Kira-kira seperti itu yang ingin saya sampaikan ke teman-teman media. Mohon maaf. Saya juga mohon doanya agar saya segera sehat, sembuh dan bisa beraktivitas normal kembali.

Salam,
Sutopo Purwo Nugroho


Kehumasan tanpa pamrih

Konsep kehumasan ideal model apapun boleh jadi bakal tumbang jika dihadapkan dengan dedikasi yang telah dilakukan oleh Doktor Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB Bogor itu.

Sutopo yang tak memiliki latar belakang kehumasan formal justru layak menjadi cermin nyata betapa dimanapun seseorang ditetapkan mengabdi dengan hati adalah cara terbaik.

Boleh jadi ia tidak mengenal tokoh-tokoh ilmu kehumasan modern John E. Marson, Tony Greener, ataupun Cutlip karena lebih fokus pada konten-konten kebencanaan yang ia ingin sampaikan secara lebih informatif tanpa kesumiran.

Jadilah kehumasan ala Sutopo, kehumasan tanpa pamrih, yang ikhlas melayani siapapun khususnya media.

Dalam sebuah kesempatan pria yang saat wisuda menjadi lulusan terbaik di UGM itu mengatakan jangan pernah merasa besar karena jabatan, tapi besarkan jabatan itu di manapun berada. 

Kerja keras dengan ketekunan dan doa karena menurut dia orang-orang sukses itu dulunya banyak yang tersiksa dan menyiksa diri.
Pria yang selalu jujur menceritakan masa lalunya yang penuh dengan keterbatasan tanpa rasa malu ini mengaku saat duduk di bangku sekolah dasar selalu pergi sekolah tanpa alas kaki.

Sutopo pernah bercerita kisah masa lalunya bersama orangtua saat mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan, hanya beralaskan tanah yang ketika musim hujan bermunculan laron di rumahnya. 

Laron-laron tersebut kemudian ia tangkap satu-persatu dan dikumpulkan menjadi peyek.

Keterbatasan itu barangkali yang menjadikan Sutopo sebagai sosok yang demikian kuat dan berdedikasi tinggi.
Maka belajarlah pada Pak Topo untuk kehumasan zonder pretensi.

Pak Topo memang top, kata seorang wartawan senior dari sebuah media nasional yang diamini oleh begitu banyak rekannya yang lain.

Baca juga: 71 warga negara asing berada di Palu saat gempa dan tsunami
Baca juga: BNPB: kemampuan mitigasi Palu-Donggala masih minim

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018