London (ANTARA News) - Mantan Perdana Menteri (PM) Pakistan, Nawaz Sharif, mengatakan bahwa dirinya akan pulang kampung bulan depan, yang akan mengakhiri tujuh tahun pengasingan di Arab Saudi dan Inggris. Ia mengatakan, pada wartawan pada konferensi pers Kamis di London: "Pada 10 September, kami akan mendarat di Islamabad", dan menambahkan ia ingin "melancarkan pertempuran yang menentukan melawan kediktatoran di Pakistan". Sharif menambahkan bahwa ia ingin melihat pemulihan "demokrasi yang tidak menipis...supremasi norma hukum dan konstitusi". Pengumumannya itu tiba ketika Presiden Pakistan, Musharraf, menghadapi tekanan dari mantan PM lainnya, Benazir Bhutto, untuk mundur sebagai kepala tentara menurut perjanjian pembagian-kekuasaan yang diusulkan. Juru bicara Musharraf mengatakan bahwa presiden masih mempertimbangkan rincian perjanjian itu dan tidak akan buru-buru membuat pengumuman. Presiden itu, sekutu penting AS dalam "perang atas teror", menjatuhkan Sharif pada 1999 tapi telah melihat dukungannya runtuh dalam beberapa bulan belakangan ini. Protes tehadap pemberhentiannya atas ketua mahkamah agung Iftikhar Mohammad Chaudhry awal tahun ini terbukti merusak, karena ketidakmampuan pemerintah untuk memadamkan kekerasan ekstrimis. Chaudhry, yang ditempatkan kembali oleh mahkamah agung Pakistan, pekan lalu telah membuka pintu bagi kepulangan Sharif melalui satu putusan mahkamah agung. Namun bekas perdana menteri itu, yang menjabat antara 1990 dan 1993 dan lagi dari 1997 hingga 1998, telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan tuduhan yang mencakup pembajakan dan terorisme setelah digeser dari kekuasaan. Pemerintah Pakistan mengatakan telah memutuskan apa tindakan yang akan dilakukan jika Sharif pulang, di tengah spekulasi negara itu tidak dapat mengusirnya dengan segera atau menangkapnya. Ditanya oleh wartawan apakah ia takut dikirim ke penjara, Sharif mengatakan: "Meskipun ia menempatkan kami di balik terali besi, hal itu tidak akan membantunya (Musharraf)", dan menambahkan bahwa "masyarakat madani telah keluar di jalanan". Sharif mengecam perjanjian yang diusulkan Bhutto sebagai "buruk bagi negara" dan "sangat disayangkan". "Orang itu, Musharraf, sedang dalam perjalanannya keluar...tak ada orang yang akan berusaha untuk menolong kapalnya yang akan tenggelam karena motif pribadi," katanya. "Tak akan ada perjanjian karena motif pribadi...rakyat Pakistan tak akan mengizinkan itu." Setelah konferensi pers, saudara laki-lakinya Shabaz, yang akan melakukan perjalanan bersamanya ke Islamabad, juga mengecam apa yang ia lukiskan sebagai "campurtangan" oleh Washington, untuk menanggapi laporan pers bahwa AS mendukung perjanjian Bhutto itu. "Kami mengharapkan Washington, yang menyebarkan demokrasi, tidak ingin dianggap sebagai memiliki standar ganda," katanya. Nawaz Sharif mengatakan pada konferesi pers itu bahwa Musharraf adalah "orang yang bersalah karena merobohkan konstitusi". Sharif, 57, menunjuk Musharraf sebagai kepala tentara Pakistan pada 1998 tapi keduanya berselisih mengenai urusan dengan saingan nuklir India di wilayah Kashmir yang disengketakan. Ketika Sharif berusaha untuk memecat Musharraf, yang ia duga merencanakan untuk menggulingkan dia, tentara masuk. Sharif meninggalkan kekuasaan dalam kudeta tak berdarah, melarikan diri ke Arab Saudi pada 2000 dan kemudian pindah ke London. Musharraf mengatakan ia harus tinggal di luar negara itu selama 10 tahun. Ketika di London, Sharif mengadakan pembicaraan dengan para politisi oposisi termasuk bekas kapten kricket Pakistan Imran Khan dan wakil dari Partai Rakyat Pakistan (PPP) pimpinan-Bhutto mengenai penggeseran Musharraf dari kekuasaan. Pada Juli, Sharif mengatakan pada satu konferensi pers bahwa kelompok politisi oposisi ingin menyusun "peta jalan" untuk mengembalikan negara itu ke jalan konstitusional. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007