Solo (ANTARA News) - Hari kedua Solo International Ethnic Music Festival and Conference (SIEMFC) dimeriahkan penampilan kelompok musik Bagdad Spirit dan Sawung Jabo dengan mengusung musik tradisi kontemporer dalam penampilan mereka. Kehadiran Kamal Al Bayaty dan anggota Bagdad Spirit memang telah ditunggu oleh penonton SIEMFC yang memadati Benteng Vastenburg. Kelompok ini mengusung empat komposisi musik yang kental nuansa musik Arab dengan ciri khas alat musik perkusi ditambah harmonisasi permainan flute dan bunyi-bunyian seumpama kicauan burung pada komposisi terakhir mereka. Kelompok yang dipimpin Kamal ini beranggotakan Lutfi (garpuka), Arif (rebana Arab), Hari (flute), Devin (gambus), dan Widi (biola). Mereka membawakan komposisi masing-masing "Hanin", "Hachah", "Tufah", dan "Garbanza". "Hanin dalam Bahasa Inggris berarti `missing`, spirit dari lagu ini saya ambil dari kerinduan rakyat Irak, tempat saya dilahirkan, terhadap kedamaian yang hilang sejak pendudukan AS di Irak," katanya. Dalam penampilannya, Kamal tak hanya berganti-ganti memainkan sejumlah alat musik perkusi dan bunyi-bunyian, tubuhnya sesekali meliuk menari mengikuti irama musik. Tepuk tangan panjang membahana di lokasi terbuka Benteng Vastenburg setiap kali Kamal menari. "Dialog musik " yang tercipta antara sesama musisi juga menghadirkan ketakjuban penonton. Misalnya, saat perlahan suara garpuka masuk disusul irama flute yang menambah harmoni. Didukung suasana malam yang dingin, permainan "Bagdad Spirit" tampak membius penonton. Penampilan yang tak kalah menarik dan menimbulkan decak kagum penonton adalah nyanyian anak-anak Korea Selatan yang tergabung dalam "The Jakarta Korean Children`s Choir" dengan pemimpin Kim Younghee. Anak-anak usia sekolah SD dan SMP ini membawakan lagu "Bengawan Solo" yang diciptakan Gesang dengan pelafalan Bahasa Indonesia yang mendekati sempurna. "Kami sengaja menyiapkan lagu ini selama empat bulan, khusus untuk tampil di SIEMFC," kata Kim. Selain membawakan lagu ini dengan iringan keyboard, anak-anak yang bersekolah di sejumlah sekolah internasional di Jakarta ini juga memainkan alat musik perkusi tradisional Korea seperti Jing, Buk, Changgo, dan Kwengkari dalam komposisi "Samulnori with Nanta". Yang juga tak kalah menarik dalam pertunjukan hari kedua festival musik etnik ini adalah kehadiran delegasi asal Palu yang mengusung tema kerusakan ekologi dalam musiknya. Sang komposer, Hapri Ikapoigi, mengungkapkan bencana banjir di Morowali dan bencana lumpur Lapindo adalah salah satu inspirasi terciptanya musik mereka. "Alam raya milik kita bersama maka sangat penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan alam dengan tradisi. Karena itu penampilan kami ini menggabungkan isu ekologi dan etnisitas," kata Hapri yang juga dosen antropologi Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah ini. Penampilan Sawung Jabo menjadi pemungkas perhelatan SIEMFC pada hari kedua. Ia mengangkat musik etnik dengan sentuhan entertain sekaligus kontemporer. Dialog-dialog segar yang dilontarkan Sawung Jabo pada setiap jeda musiknya menambah semarak suasana malam di udara terbuka itu. Sebuah komposisi berjudul "Nonton Kampanye" mendapat perhatian tersendiri dari penonton. Sawung Jabo menyebutnya sebagai sebuah sindiran terhadap orang-orang yang kerap melakukan kampanye politik. "Kalau kampanye kan biasanya yang dikatakan kadang tidak sesuai dengan kenyataan, nah sekarang kalau saya mainnya ada yang salah kan tidak ada yang tahu juga," katanya sambil tertawa. "Nonton Kampanye" terdengar berirama rancak dan dinamis dengan sentuhan rock namun tetap menonjolkan unsur etnik dengan gamelan. Dialog musik yang tercipta juga diimbangi dengan aksi panggung Sawung Jabo dan musisi lain dengan berjingkrakan di atas panggung. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007