Jakarta (ANTARA News) - Pernyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan kerusakan hutan tertinggi, bukanlah kabar baru lagi. Di dalam negeri, apalagi di mancanegara, tudingan itu bak nyanyian "koor" yang terus dikumandangkan, dan hampir sebagian besar nadanya minor. Alhasil, persepsi tanpa adanya upaya sama sekali adanya ikhtiar dari Indonesia --baik dari kalangan masyarakat, apalagi pemerintah-- untuk melakukan kegiatan penyelamatan hutan, kalau toh dibangun akan "tertimbun" dengan beratnya sangkaan sebagai perusak hutan itu. Gambaran bagaimana menyeramkannya laju kerusakan hutan Indonesia itu, dapat disimak dari laporan media massa yang mengutip para pegiat lingkungan, baik dalam maupun luar negeri. Bukan itu saja, kerusakan serius hutan Indonesia juga diteguhkan oleh otoritas pemerintah sendiri, yakni Departemen Kehutanan (Dephut). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam laporan yang bisa diakses di situs www.walhi.or.id menuliskan: "Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun". "Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan," tulis laporan itu mengutip Badan Planologi Dephut (2003). Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban sendiri (9/8/2007) menyatakan bahwa sumberdaya hutan Indonesia terus terdegradasi di mana kerusakan hutan sejak tahun 2000 hingga 2005 tercatat mencapai 1,08 juta hektare pertahun yang mengakibatkan luasan hutan kritis terus bertambah. "Kerusakan itu hingga kini telah mencapai 59,3 juta hektare dan hutan-hutan yang berada dalam kondisi kritis itu tersebar di seluruh pelosok tanah air," katanya di sela pelantikan 269 siswa baru SMA Negeri I Plus Matauli Pandan, di Sibolga, Sumatera Utara. Pernyataan yang kemudian paling banyak menyedot energi tentang kerusakan hutan Indonesia adalah dari Greenpeace, sebuah LSM Internasional yang menyebut Indonesia sebagai "perusak hutan tercepat di dunia", sehingga jutaan hektar hutan di Indonesia menjadi rusak, dan sedang mengusulkan agar "prestasi" itu dapat ditorehkan untuk masuk "Guinnes Book of World Record" pada keluarannya tahun 2008 nanti. Menhut MS Kaban membantah tudingan itu. "Saya menyanggah pernyataan itu. Mereka menyatakan itu karena mendasarkan data lama 1997-1998," katanya dalam puncak acara kampanye Indonesia Menanam, Indonesia Berseri, Masyarakat Sejahtera, di Pacitan, Jatim, awal Mei 2007. Pernyataan itu, berarti tidak menghargai upaya-upaya serius yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat selama ini. "Tolong hargai upaya pemerintah dan masyarakat Indonesia yang melakukan rehabilitasi," tambahnya. Reaksi lainnya muncul dari Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI) melalui surat kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan Nomor: 53/Persaki/IM/05/2007 tanggal 29 Mei 2007, yang ditandatangani Plt. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat PERSAKI, Ir Imam Harmain, MBA dan Sekretaris, Dr Ir Petrus Gunarso, MSc. Menanggani apa yang oleh PERSAKI disebut "memojokkan (baca: menistakan) Indonesia sebagai penghancur hutan paling hebat di dunia", organisasi itu melihat ada masalah kerancuan definisi deforestasi, validitas data dan angka, serta adanya sikap standar ganda Greenpeace, meski kemudian PERSAKI melalui poin "Hikmah Bagi Bangsa Indonesia", sehubungan dengan lontaran Greenpecae itu mencoba menetralisirnya. Tiga poin yang kemudian disebut sebagai "pernyataan persatuan profesional di bidang kehutanan" itu adalah, pertama: perlu nasionalisme dan kehati-hatian dalam menyikapi upaya memojokkan/penistaan terhadap negara besar berpenduduk terbesar nomor 4 di dunia yang saat ini sedang mengalami berbagai kesulitan, dari masalah politik sampai masalah yang muncul dari berbagai bencana alam. "Penistaan yang kurang berdasar pada angka atau bahkan dengan mempermainkan angka dan menggunakan standar ganda akan sangat merugikan dan menambah penderitaan rakyat Indonesia. Dan apakah memang ini tujuan penistaan tersebut? Perlu pula penghormatan kedaulatan dan kepentingan nasional, dimana dengan penduduk terbesar ke empat di dunia tidak mungkin bagi Indonesia untuk tidak mengubah sebagian hutannya (deforestasi) secara terencana menjadi areal pertanian, termasuk perkebunan, infrastruktur, dan pemukiman,". Kedua: jika Indonesia dicantumkan sebagai penghancur hutan paling hebat di dunia, adakah ketulusan dari negara maju --yang sebagian mendanai kegiatan Green Peace-- untuk membantu Indonesia, karena bukankah selama ini negara-negara kaya merupakan konsumen kayu tropis justru telah menikmati impor kayu, antara lain dari Indonesia selama 30 tahun terakhir dengan harga sangat murah dan kurang peduli terhadap kelestariannya, sehingga sebenarnya negara-negara maju wajib untuk menunjukkan komitmen nyata dalam mengimplementasikan CDM (Clean Develompement Mechanism) dan Protokol Kyoto sesegera mungkin. Ketiga: hikmah positif dari wacana ini adalah adanya kesadaran akan perlunya pemerintah, segenap pemangku-kepentingan (stakeholder) dan Rakyat Indonesia untuk duduk bersama dalam mengatasi masalah kerusakan hutan dan pengelolaan hutan yang tidak lestari. "Jika penistaan itu terjadi, maka seharusnyalah sampai ke tingkat Presiden sekalipun harus bangkit dan melawan penistaan itu dengan tindakan yang taktis, setimpal dan nyata," kata PERSASKI. Skema Ekolabel Dari perdebatan wacana kerusakan hutan di Indonesia itu, fokus utama yang selama ini dianggap menjadi biang-keladi kerusakan hutan adalah kalangan pengelola Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang dianggap hanya bisa membabat dan menggunduli hutan, sehingga menimbulkan banyak bencana. Greenpeace Indonesia, saat melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Menhut, di Jakarta (Sinar Harapan, 11/12/2006), melalui jurubicaranya, Hapsoro menyatakan bahwa pemberian izin HPH diklaim sebagai biang perusakan hutan saat ini. Oleh karena itu, Departemen Kehutanan (Dephut) didesak untuk mencabut semua izin HPH yang ada, dan tidak memberikan lagi izin serupa bagi yang lain. "Pihak Dephut harus bertanggung jawab terhadap semua kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia saat ini. Semua terjadi karena adanya izin HPH, yang pada kenyataannya izin tersebut ternyata membunuh hutan kita," kata Hapsoro. Lantas, bagaimana melihat dengan lebih seimbang wacana mengenai soal kerusakan hutan ini? Kandidat doktor pada "College of Forest Resources" di University of Washington, AS, Asep Sugih Suntana melihat bahwa perdebatan soal wacana ini, dalam perjalanannya memang cukup keras. Negara maju melihat produk kayu hasil hutan negara tropis adalah dihasilkan melalui kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, dan negara penghasil kemudian mencoba menjawabnya bahwa tidak semuanya dihasilkan dengan cara yang dituduhkan itu. Karena sudah sedemikian tidak percayanya dunia luar dengan negara-negara pemasok kayu asal hutan tropis, beberapa negara dan bahkan kota sudah memboikot. "Norwegia sudah tidak mau lagi menerima kayu tropis, baik besertifikasi (ekolabel) apalagi yang tidak. Kota San Francisco di California bahkan memberi sanksi kepada kontraktor dari pemerintah yang menggunakan kayu tropis, jadi sudah bukan hanya melarang, dan itu diberlakukan tidak hanya dari Indonesia saja, tapi juga negara lain. Mereka sudah tidak percaya lagi bahwa kayu tropis dihasilkan dengan cara-cara baik, tapi melalui 'illegal logging' dan merusak lingkungan," kata Manajer Unit Kantor Penghubung Luarnegeri Lembaga Ekolabel Indonsia (LEI) yang berpusat di Bogor, Jawa Barat (Jabar) itu. Atas kondisi itu, sebagai jalan tengah, LEI kemudian mengenalkan skema persyaratan sertifikat ekolabel untuk setiap kayu atau produk kayu yang digunakan, termasuk kayu impor. Tujuannya tidak lain meniscayakan bahwa produk asal hutan dari Indonesia juga harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan yakni besertifikat ekolabel, sebagai garansi bahwa produk-produk itu dihasilkan dari proses pengelolaan yang sesuai dengan standar pengelolaan hutan yang lestari. Daru Asycarya, Manajer Pengembangan Kapasitas LEI menambahkan, dengan sertifikat ekolabel, maka posisi "baik" dari unit manajemen HPH itu tidak disampaikan secara subyektif oleh dirinya sendiri, namun juga dari pihak luar, dan hal itulah yang terus didorong LEI. "Bagi unit manajemen HPH yang sudah mendapat sertifikat ekolabel, itu akan memperkuat posisi HPH, baik di pasar dalam negeri maupun pasar internasional," katanya. Dalam kaitan itu, dari 300-an HPH yang ada di Indonesia, meski jumlahnya masih sangat sedikit, sudah ada yang lulus dan mendapat sertifikat ekolabel dari LEI, dan satu diantarnya adalah PT Sari Bumi Kusuma (SBK), yang mengelola hutan alam di dua wilayah, yakni di Kalimantan Barat (Kalbar) di Camp Nanga Nuak, dan Blok Seruyan dan di Katingan, Kalimantan Tengah (Kalteng). LEI bersama sejumlah wartawan dalam dan luar negeri, selama empat hari menelusuri jalan darat sepanjang 550 Km dari Pontianak (Kalbar) menuju Nanga Pinoh selama 11 jam, dan melanjutkan perjalanan melalui jalur sungai Melawi selama empat jam untuk sampai di Camp Nanga Nuak, dan kemudian menuju Blok Seruyan dan di Katingan, Kalteng, untuk melihat langsung pengelolaan hutan yang telah mendapat sertifikat ekolabel itu. Menurut Asep Sugih Suntana, dengan kondisi itu, maka menyampaikan informasi bahwa melalui sertifikasi ekolabel yang dilakukan di Indonesia itu, sebenarnya tetap ada ikhtiar untuk pengelolaan hutan dengan menggunakan prinsip kelestarian itu, dan pekerjaan itu diakui membutuhkan dukungan berbagai kalangan, seperti pers, pemerintah, publik dan LEI sendiri, baik di dalam negeri maupun luar negeri. "Supaya mereka paham bahwa apa yang dilakukan ini serius, yakni ada orang di Indonesia yang serius (untuk melakukan prinsip pengelolaan hutan lestari), karena sekarang ini (persepsinya) semua 'bablas', karena semua dianggap terlibat di dalam 'illegal logging'," katanya. Ia mengatakan bahwa dari kalangan pengusaha dan pemerintah pun, inisiatif yang terus dikampanyekan dan didorong LEI sebenarnya menyambutnya dengan positif. "Tanggapan pemerintah, dalam hal ini, Dephut positif. Mereka melihat memang dalam program sertifikasi hutan sebaiknya tidak dilakukan oleh pemerintah, lebih baik pihak ketiga untuk memenuhi tiga prinsip, yakni 'voluntary', tidak diskriminatif dan transparansi maksimum, karena hal-hal itu yang harus dipenuhi di dalam sistem sertifikasi," katanya. Tidak Semua Direktur PT Sari Bumi Kusuma (SBK) Nana Suparna --salah satu pengelola HPH yang telah mendapat sertifikat ekolabel mengakui bahwa tuduhan HPH --dari ratusan yang mendapat izin, khususnya yang tidak melakukan pengelolaan hutan produksi dengan prinsip kelestarian tentu menyumbang laju kerusakan hutan itu. "Namun, harus adil juga disampaikan bahwa masih ada (HPH) yang mengelolanya dengan prinsip lestari. Selama ini, kesan kuatnya, semua merusak. Suara kami (bahwa masih ada HPH yang mengelola hutan dengan yang dipersyaratkan) ini, hampir tidak pernah muncul di media massa publik," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan ini. SBK mengelola hutan alam seluas 147.600 hektar --dikurangi kawasan lindung/konservasi dan areal yang tidak untuk diproduksi-- sehingga kurang lebih total areanya menjadi 120 ribu hektar, di dua wilayah perbatasan Kalbar dan Kalteng. Sertifikat ekolabel diperoleh SBK dari LEI (2002) dan TUV (2006). Sejauh yang diikutinya, setiap laporan di media massa publik, baik teks, foto maupun gambar, selalu menggambarkan adanya truk yang sedang mengangkut kayu bulat (log) besar, dan kemudian diberikan penjelasan sebagai proses atau hasil kejahatan kehutanan. "Padahal, tidak semua truk-truk seperti itu, adalah milik HPH (yang diidentikkan dengan pemanfaatan produk hutan dengan cara tidak benar), karena siapa saja bisa memunyai truk-truk semacam itu," katanya dan menambahkan bahwa PT SBK mengelolanya dengan prinsip yang dipersyaratkan, dan mengikuti skema sertifikasi ekolabel dari LEI itu. Hingga saat ini telah 11 unit manajemen dan satu industri yang bersertifikat LEI dalam pengelolaan hutan yang mencapai luas 1,049.711,37 hektare atau sekitar 1,5 persen dari luas hutan Indonesia. LEI sendiri merupakan suatu lembaga mandiri dan nirlaba yang tidak membawa kepentingan politik apapun, namun semata-mata untuk mengembalikan fungsi hutan yang hijau dan lestari. Manajer Komunikasi LEI, Indra Setia Dewi mengemukakan bahwa selama ini unit pengelola hutan bersertifikat telah menikmati dukungan pemerintah antara lain berupa izin ekspor Ramin, izin memanen sesuai kapasitas lestari, dan "self approval" Rencana Kerja Tahunan (RKT). "Pasar pun merespons cukup positif terhadap produk sertifikasi berupa dibukanya akses pasar di beberapa negara Eropa dan Jepang, meningkatnya harga kayu dan hasil hutan lain yang bersertifikat maupun penghapusan harga 'discount' bagi produk tersebut," katanya. Manfaat lebih setelah mengikuti skema ekolabel itu dikuatkan oleh Yudi Hendro, Kepala Divisi Perencanaan PT SBK. "Prinsipnya (setelah mendapat sertifikat ekolabel) menguntungkan, ya, karena ada beberapa kemudahan," katanya dan menambahkan bahwa sejak tahun 2006 SBK ditetapkan sebagai salah satu HPH model kegiatan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), dan secara definitif penetapannya tahun 2007. Ia menambahkan, persyaratan pengurusan RKT, setelah ada sertifikasi ekolabel, memang ada kemudahan, di mana ada salah satu klausul di Dephut yang menyatakan bahwa perusahaan yang sudah disertifikasi untuk pengurusan izin-izin alat berat itu tidak perlu seperti perusahaan yang belum disertifikasi. Kemudian terkait dengan masalah harga, pihak luar/konsumen juga akan membeli dengan harga yang lebih tinggi dari kayu yang dijual dari produk yang sudah disertifikasi. "Artinya, ada 'premium price" dibandingkan 'log' yang belum disertifikasi," katanya. Dari pergulatan wacana mengenai kerusakan itu, apakah ikhtiar "menyeimbangkan informasi" yang terus didorong LEI itu akan secara bertahap mulai "didengar" dan "dilihat", sejarah akan mengujinya.(*)

Pewarta: Oleh Andy Jauhari
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007