Jakarta (ANTARA News) - Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Prof. Mezak A. Ratag, di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa berbagai kondisi cuaca ekstrim akan semakin sering terjadi di Indonesia akibat pemanasan global dan berubahnya iklim. "Kejadian-kejadian cuaca ekstrim akan makin sering berpeluang terjadi di Indonesia, seperti curah hujan lebat sehingga menimbulkan banjir," kata Ratag saat berbicara dalam pelatihan meteorologi, klimatologi, dan geofisika untuk jurnalis. Ia melanjutkan, pemanasan global dan perubahan iklim juga membuat kondisi cuaca semakin terlokalisasi. "Dulu kita cukup memantau cuaca di tingkat satu provinsi, tapi sekarang kejadian semakin lokal sehingga pemantauan di provinsi saja itu tidak cukup. Perlu pemantauan di tingkat kabupaten-kabupaten," kata dia. Dalam kesempatan itu Ratag mencontohkan kawasan Jawa Barat, khususnya Indramayu - salah satu lumbung pangan Indonesia. "Di satu Kabupaten Indramayu saja bisa terdapat enam tipe pola curah hutan yang berbeda-beda, BMG perlu memantau semuanya," katanya. Hal yang sama terjadi di Malang, satu kabupaten bisa lebih dari dua tipe hujan. "Kita perlu menambah alat pemantau cuaca, idealnya minimal tiap kabupaten dipantau lima alat. Tapi itu memang banyak sekali, mengingat Indonesia ada sekitar 300 kabupaten," ujar dia. Namun demikian, masih kata Ratag, pemerintah memfokuskan alat pantau cuaca di 40 kabupaten sebagai lokasi-lokasi prioritas pemantauan cuaca terkait perannya sebagai lumbung pangan nasional. Selain lumbung pangan, kabupaten-kabupaten yang memasok hasil perkebunan dan garam nasional dipantau secara khusus agar membantu petani menentukan awal musim tanam mereka. "Semua alat pantau dihubungkan datanya lewat komputer, sehingga biayanya tidak sedikit," kata dia. Ratag menyebutkan bahwa sebagai negara yang berada di garis Khatulistiwa, prakiraan cuaca di Indonesia jauh lebih sulit daripada negara yang jauh dari ekuator. "Kalau di Indonesia prakiraan cuaca hingga tiga hari ke depan baru 50 persen kepastiannya, di luar negeri mereka bisa memprakirakan cuaca hingga tujuh hari ke depan dengan tingkat akurasi 90 persen," ujarnya. Kondisi sulit memprakirakan cuaca itu sangat terkait dengan posisi di garis ekuator yang tidak dilintasi siklon tropis, tapi hanya menjadi titik awal munculnya angin siklon yang bergerak meninggalkan khatulistiwa, katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007