Jakarta (ANTARA News) - Menurut salah seorang pengamat CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Rizal Sukma, istilah serumpun sebaiknya jangan digunakan lagi dalam membina hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. "Penggunaan istilah serumpun menurut saya tidak tepat, karena hal itu membuat hubungan Indonesia-Malaysia menjadi tidak rasional, padahal hubungan bilateral seharusnya realistis," kata Rizal Sukma dalam diskusi bertema `Menimbang Hububngan Indonesia-Malaysia` di CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisation) Jakarta, Kamis. Menurut dia, Indonesia dan Malaysia harus merestrukturisasi hubungan di antara keduanya dengan melandaskan pada hal yang lebih rasional. "Sebaiknya kata serumpun itu diganti dengan istilah lain, karena sejatinya Indonesia dan Malaysia adalah dua entitas (kelompok) yang berbeda," katanya. Kata serumpun itu, ujar dia, hanya akan lebih menguntungkan Malaysia, karena masyarakat Indonesia tidak hanya terdiri dari orang Melayu saja. "Saya sendiri yang berasal dari Aceh, keberatan jika dianggap sebagai orang Melayu, karena saya orang Aceh," ujar dia. Bahkan seringkali dalam forum-forum resmi, ujarnya, bahasa Melayu dicampur adukkan dengan bahasa Indonesia yang berbeda pengertiannya. "Sebaiknya, dalam berbagai forum resmi atau pertemuan diplomatik antara Indonesia-Malaysia masing-masing utusan menggunakan bahasa internasional seperti bahasa Inggris saja," ucap dia. Rizal melanjutkan jika istilah serumpun itu terus digunakan, maka akan ada konsekuensi atau harapan dari Malaysia ataupun dari Indonesia sendiri untuk melandaskan hubungan pada saling pengertian yang tidak rasional. "Konsekuensinya jika ada permasalahan, maka seringkali akan ditaruh di bawah `karpet`, atau tidak akan diselesaikan secara tuntas, karena salah satu negara meminta pengertian yang berlebih atau permakluman dari negara lainnya," kata dia. Ia mengatakan, jika memang istilah serumpun efektif untuk merekatkan hubungan antara Indonesia-Malaysia maka tidak mungkin akan terus terjadi begitu banyak penyiksaan pada para tenaga kerja Indonesia di Malaysia. "Bahkan sampai sekarang banyak permasalahan kekerasan pada TKI itu yang tidak pernah diselesaikan atau memang ditaruh di bawah `karpet`," katanya. RI dan Malaysia harusnya menyadari, ujar dia, bahwa di antara dua negara sama-sama memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda. "Oleh karena itu, sudah saatnya benar-benar melandaskan hubungan dua negara pada kepentingan yang lebih rasional misalnya saja pada kepentingan bisnis," ucapnya. Ke masa depan, tambah Rizal, hubungan Indonesia dan Malaysia menghadapi begitu banyak tantangan karena begitu banyak masalah ekonomi ataupun lainnya yang menunggu untuk diselesaikan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007