Jakarta, 7 September 2007 (ANTARA) - Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD) Samarinda, yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Departemen Kehutanan di Samarinda, menginisiasi sebuah upaya untuk menggalakkan pengembangan hutan tanaman jenis-jenis Dipterokarpa, dalam bentuk seminar dan ekspose silvikultur intensif (SILINT). Seminar ini diharapkan menjadi tonggak penting perkembangan pembangunan hutan tanaman Dipterokarpa. Keluarga (familia) Dipterocarpaceae merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem hutan tropis Indonesia yang memiliki jenis-jenis bernilai tinggi, seperti meranti, kamper, kapur, keruing, dsb. Seminar yang dimulai pada tanggal 4 September ini menampilkan beberapa pakar yang akan berbicara mengenai ketersediaan IPTEK, kelayakan finansial, dan kelemahan-kelemahan kebijakan yang ada, yang mungkin menjadi penyebab mengapa hutan tanaman jenis Dipterokarpa selama ini tidak berkembang. Sampai saat ini, yang lebih banyak dikembangkan oleh perusahaan kehutanan adalah jenis-jenis tumbuh cepat, khususnya untuk bahan baku kertas atau pulp, terutama mangium. Sedangkan jenis-jenis penghasil kayu pertukangan, seperti meranti, kamper, dsb., tidak banyak ditanam meskipun harga kayunya tinggi. Di sisi lain, produksi kayu dari hutan alam untuk mensuplai industri kayu terus menurun, dan tuntutan pengurangan eksploitasi hutan alam terus menguat, seperti tuntutan moratorium logging. Di dalam seminar dibahas, bahwa dari aspek teknologi, mulai dari pemilihan jenis, pembibitan, dan penanaman-pemeliharaan, sebenarnya teknologi yang tersedia sudah cukup memadai untuk sejumlah jenis dipterokarpa tertentu, sekitar 6 - 8 jenis. Memang ada ratusan jenis yang perlu diteliti untuk mengetahui teknologi yang diperlukan. Tetapi pengetahuan mengenai 6 -8 jenis tersebut sudah memungkinkan pengembangan hutan tanaman Dipterokarpa di berbagai tempat, khususnya di Kalimantan. Satu hal yang masih belum cukup dikuasai teknologinya adalah penanganan gulma atau tumbuhan pengganggu yang bisa mematikan tanaman Dipterokarpa. Dari sisi peluang pasar dan perkiraan harga di masa depan, seorang pakar mengungkapkan hasil analisisnya, bahwa kayu jenis-jenis Dipterokarpa sangat prospektif. Tahun 2005, diperkirakan kebutuhan kayu mencapai 51 juta m3/tahun. Kemampuan pasokan dari hutan alam, jauh di bawah angka tersebut, yang berarti harga kayu akan meningkat terus. Sehingga, pembangunan hutan tanaman Dipterokarpa sangat menjanjikan. Diindikasikan salah satu penghambat pengembangan hutan tanaman Dipetrokarpa adalah kurangnya insentif, karena membangun dan memelihara tanaman secara benar memerlukan biaya. Meskipun analisis menunjukkan bahwa rasio antara future revenues - opportunity lost pembangunan hutan tanaman Dipterokarpa sebesar 2,41, sebuah indikasi fisibilitas finansial yang cukup tinggi, namun pengusaha memerlukan dana segar untuk memulai. Pemerintah perlu mengambil kebijakan terobosan, misalnya dengan membebaskan pungutan Dana Reboisasi (DR) atau mengembalikan DR dari areal penebangan yang ditanami secara silvikultur intensif (SILINT). Mendesaknya pengembangan hutan tanaman juga dalam rangka memenuhi komitmen internasional. Bulan April yang lalu, Menteri Kehutanan di depan forum PBB, dalam sidang United Nations Forum of Forest (UNFF), menyampaikan ikrar nasional mewakili regional Asia Pacific, yang antara lain menyatakan bahwa Indonesia akan mengurangi eksploitasi hutan alam dan meningkatkan luasan hutan tanaman. Hal ini harus ditindaklanjuti dengan penggalakan pembangunan hutan tanaman. Setelah seminar, pada tanggal 5 Sptember 2007, akan dilakukan ekspose kemajuan pelaksanaan ujicoba SILINT, yang melibatkan 6 HPH/IUPHHK, yang mendapat tugas melakukan ujicoba. SILINT adalah sebuah alternatif terobosan yang sedang dilakukan Dephut dalam upaya mengembalikan potensi hutan alam, melalui penanaman jenis-jenis Dipterokarpa. Tanaman ujicoba di beberapa tempat, seperti di Kalbar, Kalteng, dan Kaltim, menunjukkan hasil yang menjanjikan. Karena itu, tahun 2008, Dephut merencanakan sebanyak 30 HPH/IUPHHK untuk menyusul mendapatkan tugas melakukan ujicoba. Untuk meningkatkan keberhasilan, ujicoba SILINT harus diikuti dengan kegiatan penelitian dan monitoring. Satu hal yang perlu dihindari adalah melakukan generalisasi, ketika SILINT berhasil di satu tempat, maka seluruh Indonesia diperlakukan sama. Generalisasi ini sangat tidak tepat untuk sektor kehutanan, karena kondisi iklim dan tempat tumbuh sangat bervariasi. Untuk keterangan tambahan, silakan hubungi Ir. Masyhud, MM, Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi, mewakili Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Telp: (021) 570-5099, Fax: (021) 573-8732

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2007