Bumiayu, Jateng (ANTARA News) - Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni mengaku setiap menjelang atau memasuki pelaksanaan ibadah puasa, bulan Ramadahan, selalu merasa khawatir atau "deg-degan", Ada pikiran yang selalu mengganjal di hatinya, apakah awal puasa diikuti seluruh umat Islam secara bersama-sama ataukah ada yang mulai puasa yang berbeda harinya. "Saya deg-degan", kata Maftuh di hadapan peserta Silaturahmi Nasional Ahli Hisab-Rukyat Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren (Ponpres) Al-Hikmah, Benda, Bumiayu, Jateng, Kamis malam. Pasalnya, katanya, penentuan awal dan akhir Ramadhan (1 Syawal dan 10 Dzulhijjah) selalu jadi perhatian umat Islam di tanah air. Sejak masa Rasulullah SAW hingga kini hal itu masih tetap menarik, karena terkait dengan ibadah puasa, kegiatan ekonomi, sosial dan politik serta dapat mempengaruhi stabilitas, ketentraman dan keamanan masyarakat. Perbedaan penentuan bulan Hijriyah tetap ada antara pengguna metode hisab dengan metode rukyat. Bahkan hal ini terjadi dalam penanggalan Hijriyah, meski disadari hal itu adalah bagian dari dinamika kehidupan, katanya. Apabila dicermati secara kritis, hisab berarti menghitung. Rukyat berarti melihat. Dalam arti sempit, merupakan sebuah metode untuk menentukan masuknya awal bulan Hijriyah, seperti Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Prinsip keduanya merupakan metodelogi yang digunakan sesuai standar penentuan jatuhnya awal dan akhirnya Hijriyah, kata Maftuh . Namun di kalangan sementara masyarakat, lanjut dia, keduanya dianggap sebagai dua metoda saling bertentangan, padahal dari pandangan sudut astronomi, hisab dan rukyat seperti dua mata uang yang tak dapat saling menafikan dan dinafikan. Hisab, menurut Menteri, dalam arti luas merupakan sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diartikan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada. Hisab bukan metoda yang muncul tiba-tiba. Hisab diawali dari rukyat yang panjang. Benar tidaknya harus diuji melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Sebagus dan sebaik apa pun sebuah metoda hisab, namun jika tak sesuai dengan fenomena yang dihisab maka tentu tak dapat dikatakan benar. Juga rukyat, tak pernah menghasilkan sistem atau perhitungan (hisab) yang dapat membantu pelaksanaan rukyat. Karena apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan, katanya. Karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan metode harmonis agar ilmu falak di Indonesia dapat berkembang, pintanya. Perbedaan dengan pendekatan ilmiah astronomis hendaknya dapat dihilangkan. Koordinasi antara Badan Hisab Rukyat Depag dengan lembaga falakiyah dari berbagai organisasi sangat berarti untuk menghilangkan perbedaan. Dengan demikian, Menteri Agama, ilmu falak juga merupakan bagian dari ilmu astronomi modern menjadi "observational sains". Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana kedua metoda dapat berjalan dengan harmonis sehingga menghasilkan penyatuan kalender Hijriyah? Menurut Menteri, kalau ditengok penetapan awal Ramadhan, Syawal, Dzulhnijjah di negara Islam, maka tak satu pun yang penetapan awal bulan Hijriyah dilakukan secara perseorangan. Dilakukan otoritas negara Di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, penetapannya dilakukan oleh otoritas negara seperti menteri agama, mufti, dewan mahkamah tinggi atau bahkan raja setempat. Dalam kondisi seperti itu, masyarakat Muslim tak perlu bersusah-payah menentukan awal Ramadhan dan akhir bulan Hijriyah, tegas Menteri. Kewajiban masyarakat Muslim adalah mengindahkan pengumuman pemerintah, seperti firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 59 dan menaati Sabda Nabi Muhammad SAW. Hanya di negara Muslim-nya minoritas, lanjutnya, otoritas penetapan awal dan akhir Hijriyhah diserahkan kepada organisasi masyarakat Islam setempat. Di Indonesia, katanya, otoritas itu ada pada pemerintah, yaitu Depag dan perangkat sidang itsbat. Namun kondisi ini masih menyisakan perbedaan dan kadang menimbulkan konflik yang tak perlu. Karena itu, Menag menyambut baik wacana kalangan ahli hisab dan rukyat di Indonesia yang memunculkan pemikiran untuk mengkaji ulang kriteria Hisab Rukyat. Hal ini menjadi titik awal pencarian bagi penyatuan kalender Islam di Indonesia. Selama ini, katanya, yang digunakan berdasarkan kalender ormas Islam yang berpengaruh di masyarakat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah Ia menegaskan kalangan akhli Hisab dan Rukyat yang memahami perkembangan ilmu astronomi ada kesadaran bahwa kriteria tersebut bersifat "ijtihadiyah" yang mungkin berubah dengan penemuan baru. "Dalam ilmu pengetahuan, seperti dalam konsep ijtihadiyah dalam fiqih, tak ada pendapat yang dianggap benar secara mutlak," kata Maftuh. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007