Surabaya (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, mengemukakan perekonomian global akan berimplikasi terhadap tingkat inflasi Indonesia, karenanya BI berusaha untuk menjaga agar tingkat inflasi tetap rendah. Burhanuddin di sela serah terima jabatan Kepala BI Surabaya, dari Lucky Fathul Aziz kepada Rusli Simanjuntak, di Surabaya, Jumat, mengakui bahwa perekonomian domestik, stabilitas harga akhir-akhir ini agak terganggu yang bisa berdampak terhadap inflasi. "Gangguan" tersebut di antaranya karena kenaikan harga yang diatur pemerintah dan harga internasional yang naik, seperti harga Crude Palm Oil (CPO), sehingga mendongkrak naiknya harga minyak goreng. Kenaikan harga itu menjadi pemicu inflasi tinggi. "Jika tahun lalu inflasi Juli cukup tinggi akibat musim ajaran baru, dan Agustus turun. Tapi, sekarang Juli tinggi hingga Agustus," katanya. Jadi, menurut dia, tekanan inflasi dari sekarang dan akhir tahun secara musiman masih cukup besar. Untuk itu, kebijakan moneter BI lebih riil ke wilayah yang sangat hati-hati, tetap mencermati perkembangan global dan domestik serta kerjasama dengan pemerintah lebih terkoordinir. BI, katanya, tetap melakukan langkah-langkah agar inflasi rendah di akhir tahun hingga tahun depan. "Ini juga perlu direspon dari sisi yang lain dengan `structure reform infrastructure` energi, pedesaan, pengairan dan sebagainya berjalan cepat. Dengan demikian, pergerakan ekonomi semakin stabil dan kedepan bisa terprediksi," katanya. Target inflasi yang ditetapkan pemerintah berkisar 5-7 persen pada 2007. Target itu optimistis dapat dicapai. Bahkan, target inflasi 2008 sekitar enam persen dfiperkirakan bisa terlampaui. Menyinggung BI rate, Burhanuddin mengemukakan untuk menaikkan BI rate pihaknya masih akan melihat pergerakan perekonomian dari bulan ke bulan dan kecenderungan dalam jangka menengah panjang. BI rate tetap melihat juga tingkat suku bunga dari negara-negara maju seperti Australia, Inggris dan Amerika yang akan ditunggu aksinya pada 18 September mendatang. Sementara itu, terkait dengan masalah "subprime mortgage" di Amerika, ia menilai riaknya masih akan dirasakan Indonesia dalam 1-3 bulan kedepan. Oleh karena itu, volatilitas (fluktuatif) nilai tukar harus tetap dijaga. (*)

Copyright © ANTARA 2007