Seluruh bangsa Indonesia rasanya sama sekali tak berlebihan jika harus menundukkan kepala untuk menghormati seorang penyelam bernama Sjahrul Anto yang meninggal dunia hari Sabtu dinihari (3/11) sekitar pukul 02.00 WIB saat melakukan penyelaman guna membantu mengangkat korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di Tanjung Pakis, Karawang Jawa Barat.

Tidak kurang dari Presiden Joko Widodo pada Sabtu yang turut menyampaikan rasa dukacita dan belasungkawanya atas gugurnya Sjahrul Anto yang tergabung dalam Komunitas Indonesia Diving Team (KITD). Kepala Negara mengharapkan tidak akan ada lagi anggota tim penyelamat yang harus kehilangan nyawa dalam proses pencarian dan penyelamatan (SAR) terhadap 189 jiwa penumpang pesawat udara tersebut.

Lebih dari 850 orang yang secara langsung terlibat dalam tim SAR mulai dari anggota TNI dan Polri, Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Taruna Siaga Bencana atau Tagana hingga masyarakat sekitar lokasi terjadinya musibah tersebut.

Pesawat milik perusahaan swasta itu pada Senin (29/10) dalam penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten menuju Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung jatuh di Karawang sekitar pukul 06.30 WIB setelah sebelumnya minta izin kepada pengendali pesawat atau air traffic control (ATC) Bandara Soekarno- Hatta untuk kembali kesana yang istilah teknisnya adalah return to base.

Akan tetapi ATC kehilangan kontak karena kemudian tak lama kemudian pesawat itu telah jatuh di perairan Karawang.

Akibat kehilangan kontak maka kemudian dilakukan pencarian sehingga sampai Minggu siang ( 4/11), yang melibatkan ratusan orang baik secara langsung maupun tidak langsung. TNI Angkatan Laut misalnya mengerahkan beberapa kapal perang (KRI), Satuan Intai Amfibi, Komando Pasukan Katak (Kopaska). Kemudian BPPT mengerahkan kapal riset Baruna Jaya I.

Akhirnya setelah berhari-hari bekerja keras tanpa mengenal lelah, para penyelam TNI Angkatan Laut dan BPPT menemukan barang yang sangat penting yang istilah teknisnya adalah lazim disebut kotak hitam atau black box. Sebenarnya di dalam kotak itu terdapat dua alat perekam. Namun sampai dengan Minggu pagi baru ditemukan satu alat yang bernama flight data recorder (FDR) yang berisi rekaman mengenai kecepatan angin, serta arah pesawat. Sementara yang satu lagi cockpit voice report atau CVR masih terus dicari terutama oleh para penyelam Angkatan Laut.



Pentingkah pencarian ini?

Pencarian para penumpang ini tentu sangat penting terutama bagi para keluarga terutama karena mereka ingin mendapat kepastian tentang nasib suami, istri, anak, kemenakan serta rekan sejawat di kantor.

Akan tetapi yang tak kalah pentingnya adalah pengorbanan penyelam Sjahrul Anto dan ratusan petugas serta relawan dan termasuk masyarakat kawasan Tanjung Pakis, Karawang harus dilakukan menjelang peringatan hari Pahlawan 10 November 2018.

Pada 10 November 1945, rakyat di Tanah Air khususnya Surabaya berjuang mati-matian untuk mengusir penjajah Belanda. Tindakan heroik itu ikut memacu rakyat Indonesia di berbagai daerah lainnya untuk turut serta mengusir penjajah Belanda.

Karena Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945 maka praktis tidak ada lagi perjuangan secara fisik.

Sekarang perjuangan bangsa Indoesia terutama adalah tidak lagi menyandang senjata tapi bagaimana membangun bangsa ini di bidang ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan .

Sjahrul Anto dan sesama penyelam "swasta" serta TNI, masyarakat umum, BPPT, Tagana dan tentu saja prajurit Polri telah membuktikan secara nyata bahwa mereka adalah pahlawan- pahlawan sejati yang tak boleh diragukan kesetiaan dan kemampuannya.

Ketika terjadi gempa bumi dan gelombang laut di Palu, Donggala, Sulawesi Tengah, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa yang paling berperan dalam proses penanganan kasus di Sulteng itu adalah para prajurit Polri dan TNI. Dengn modal sistem komando, maka hanya dalam waktu beberapa jam setelah musibah terjadi, para prajurit TNI dan Polri langsung turun tangan.

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sedikitnya telah mengerahan kurang lebih 2.200 prajuritnya. Sementara itu, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian juga mengirimkan dua ribuan personelnya.

Melihat pengerahan dan kemampuan prajurit Polri dan TNI itu, maka kemudian Wapres Kalla membandingkannya dengan pegawai negeri sipil di Sulteng yang baru beberapa hari kemudian baru mulai bekerja lagi.

Musibah jatuhnya pesawat swasta itu seharusnya dijadikan pelajaran yang amat berharga terutama bagi pemerintah, organisasi kemasyarakatan, (ormas) serta partai- partai politik untuk menciptakan suasana agar segera lahir pahlawan- pahlawan yang baru.

Negara Kesatuan Republik Indonesia pasti membutuhkan pahlawan di bidang pembangunan ekonomi, sosial politik, kesejahteraan sosial serta ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga bangsa Indonesia bisa benar- benar sejajar dengan bangsa- bangsa lain yang sudah maju.

Selain TNI yang harus menjaga pertahanan dan Polri yang wajib mempertahankan keamanan, maka tentu didambakan lahirnya pahlawan-pahlawan di berbagai bidang kehidupan di Tanah Air. Karena itu, musibah jatuhnya pesawat udara di Karawang, harus dijadikan momen yang paling tepat untuk menciptakan atau melahirkan begitu banyak pahlawan di berbagai bidang kehidupan di NKRI tercinta ini.

Pertanyaan yang paling ialah sudah siapkah bangsa ini melahirkan pahlawan- pahlawan baru yang modelnya berbeda dengan di Surabaya pada 10 November 1945.

Baca juga: Tim SAR gabungan akan kembali temui keluarga korban

Baca juga: Sang penolong pun ikut jadi korban JT 610

Baca juga: Tim evakuasi korban kecelakaan Lion terkendala lumpur

Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018