Palu (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai Departemen Kehutanan (Dephut) tidak serius mengurus Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng). Dari 12.500 hektare luas hutan Suaka SM Bakiriang di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai yang sejak 1982 ditetapkan Menhut sebagai habitat satwa langka Burung Maleo (Macrocephalon Maleo), saat ini tersisa sekitar lima persen atau 625 hektare. "Ini terjadi karena Dephut selaku pemilik otoritas pengelolaan kurang serius atau tepatnya menelantarkan SM Bakiriang," kata Koordinator Devisi Advokasi dan Kampanye Hutan Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Ahmad Pelor, di Palu, Jumat. Ia mengatakan Walhi Sulteng sejak tahun 2000 sudah meributkan pengalihan fungsi SM Bakiriang menjadi perkebunan sawit milik PT Kurnia Luwuk Sejati yang diperkirakan mencapai 600 hektar. Perusahaan perkebunan sawit ini menggunakan modus memanfaatkan kesulitan ekonomi masyarakat dengan mendorong membuka kebun, setelah itu pihak perusahaan membeli untuk dijadikan perkebunan sawit. Fakta awal ini sebenarnya cukup kuat untuk menyeret pemilik PT Kurnia Luwuk Sejati ke proses hukum, namun sampai sekarang belum tersentuh. Akibatkan aksi perambahan terus berlanjut dan diperparah dengan keterlibatan aparat pemerintah desa dan kecamatan dalam jual beli tanah areal SM Bakiriang. Lebih lanjut, Ahmad, mengatakan fungsi SM Bakiriang sebagai area tangkapan air dan habitat asli burung Maleo yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan, membuat SM yang topografi daerah kemiringan ini menjadi rawan longsor. "Saat musim hujan ancaman longsor selalu mengintai warga yang bermukim di sekitar SM Bakiriang," ujarnya. Sekalipun demikian, lanjut dia, SM Bakiriang masih dapat diselamatkan melalui penegakan hukum, pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan SM, dan rehabilitasi kawasan untuk mengembalikan fungsi SM Bakiriang. "Semua ini tergantung pada political will pemerintah, dalam hal ini menteri kehutanan," kata Ahmad. Koordinator Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Wilianita Selviana, menambahkan fakta tersebut menegaskan bahwa pemilik modal yang hanya bertujuan meraup keuntungan telah berkontribusi secara signifikan terhadap percepatan laju tutupan hutan di daerah ini, tanpa memandang pola keseimbangan ruang dan keselamatan hidup orang banyak. "Praktik penghancuran ini mengakibatkan pengurangan luasan hutan Sulteng secara drastis dan berkontribusi pada tingginya potensi dampak lingkungan seperti banjir, erosi, penurunan debit air dan pelebaran sungai," kata Wilianita. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007