Jakarta (ANTARA News) - Lima aktivis Kelompok Cipayung menyatakan sudah sangat `gerah` dengan kelakuan Australia dan Malaysia yang cenderung terus melecehkan Indonesia yang dibuktikan dalam sejumlah kasus terakhir, baik yang menyangkut sikap Australia terhadap Presiden RI maupun pemukulan terhadap seorang wasit oleh Malaysia. Ketiga tokoh dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMKI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) menyatakan itu di Jakarta, Senin malam, saat menanggapi cara Australia menempatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di deretan belakang pada sesi foto acara pembukaan APEC. Penempatan pada posisi itu semakin tidak disukai, karena Presiden Yudhoyono berada di belakang PM Malaysia, Sultan Brunai dan Presiden Filipina. Mereka setuju dengan pernyataan sejumlah pengamat, politisi dan aktivis pers, yang menilai dalam kasus ini, Australia dianggap tidak sensitif terhadap hubungan antara negara tetangga (RI-Malaysia) yang masih belum normal karena kasus pemukulan atas wasit karate Indonesia, Donald Luther Kolopita, oleh empat polisi Malaysia. "Australia dan Malaysia itu memang sama-sama dominion Inggris, jadi masih merupakan jaring-jaring imperialisme global. Namun, kalau mereka tak digertak oleh pemimpin kita atas nama negara yang berdaulat, kita akan terus dilecehkan," tegas mantan Sekjen Presidium Pusat GMNI, Donny Lumingas, kepada ANTARA. Sambil menghormati adanya aturan protokoler yang memang rumit, Donny Lumingas benar-benar menyesalkan sikap Australia (dan juga Malaysia) karena semakin berani memprovokasi Indonesia dengan berbagai cara. Sementara itu, mantan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI, Hasanuddin, secara terpisah menilai, aturan protokoler tiap-tiap negara tentu ada dan harus dihormati. "Tetapi, akan halnya saat foto bersama, saya kira ini pesan dari Australia sebagai tuan rumah APEC, bahwa negara Kanguru itu memang belum sepenuhnya percaya kepada Indonesia," katanya. Karena itu, lanjut Hasanuddin, pemerintah Indonesia sudah sepantasnya menempatkan Australia pada daftar teratas setelah Amerika Serikat sebagai negara yang harus diwaspadai dalam politik internasional. Lain lagi pendapat Kenly Poluan, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) GMKI, yang mengatakan kondisi di APEC merupakan cerminan bagaimana internasional memosisikan Indonesia. "Di dalam negeri kita memang masih banyak yang belum beres. Apakah itu soal diskriminasi atas minoritas dalam berbagai aktivitas publik, juga kegiatan keagamaan. Kita masih dianggap belum sepenuhnya beradab dan teman yang tulus yang menghargai keberagaman dalam kehidupan," katanya. Namun, sebagai pemimpin bangsa yang besar dan berdaulat, mestinya Presiden Yudhoyono sadar diri dan punya sikap tegas menghadapi berbagai bentuk `pelecehan`, terutama dari tiga negara tetangga terdekat (Australia, Malaysia serta Singapura, kebetulan semuanya eks dominion Inggris). Sementara itu, sorotan para pengamat dan pers atas kedatangan Presiden Yudhoyono di penginapan Presiden AS George W Bush di Hotel Intercontinental, padahal, AS yang meminta berjumpa dengan pemimpin Indonesia itu, juga mendapat perhatian para aktivis ini. Selain Kenly Poluan dan Hasanuddin, hal itu juga dinyatakan Sekjen PMII Rodly Kelani maupun Ketua Demisioner Presidium DPP PMKRI, Emmanuel Tular. "Apa yang terjadi itu benar-benar telah membuktikan posisi tawar kita di forum internasional sudah pada tahapan titik terendah. Tidak seperti dulu di era Bung Karno, lalu beberapa waktu saat Pak Harto memimpin, kita masih punya wibawa," kata Rodly Kelani, dan juga hal yang sama dikatakan Emmanuel Tular maupun Kenly Poluan. Tetapi Hasanuddin dan Donny Lumingas berpendapat, soal kedatangan Yudhoyono ke tempat George Bush menginap, mungkin karena pertimbangan keamanan atas dirinya yang dijadikan "target operasi" atau TO oleh para demonstran di Australia. "Tetapi patut disayangkan bila Susilo Bambang Yudhoyono datang ke tempat itu sekedar "melaporkan" hasil kunjungan Vladimir Putin (Presiden Rusia) saat ke Jakarta," kata Hasanuddin. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007