Masyarakat sudah menyatakan kesepakatan suara masing-masing pasangan calon, namun ada aparatur sipil negara dan kepala kampung yang meminta kesepakatan itu diubah sehingga menimbulkan tindak kekerasan terhadap sejumlah orang yang menolak permintaan i
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), padahal sebagian besar kepala daerah terpilih sudah dilantik, beberapa waktu lalu.

Salah satu daerah yang masih melanjutkan drama sengketa pilkada di MK adalah Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua.

Sebelumnya MK sudah memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa wilayah di Kabupaten Deiyai. Namun hasil dari PSU tersebut kembali diperkarakan di MK oleh pasangan calon nomor urut 4 dalam Pilkada Kabupaten Deiyai, Inarius Douw dan Anakletus Doo.

Pasangan Inarius-Anakletus, melalui kuasa hukumnya M Salman Darwis berpendapat telah terjadi pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Deiyai bersama-sama dengan Paslon Nomor Urut 1 dalam Pilkada Kabupaten Deiyai, Ateng Edowai - Hengky Pigai.

Inarius - Anakletus menduga KPU tidak bersikap independen karena berpihak pada paslon nomor urut 1, karena KPU diduga memanipulasi hasil kesepakatan masyarakat Kampung Komauto, Distrik Kapiraya, yang memberikan 1.208 suara kepada Paslon Nomor Urut 1.

Selain itu, KPU beserta paslon nomor urut 1 diduga menggunakan kekerasan dan intimidasi kepada masyarakat Kampung Diyai 1, untuk melakukan manipulasi hasil kesepakatan masyarakat Kampung Diyai I, Distrik Tigi Barat memberikan 2.000 suara kepada Paslon Nomor Urut 1.

Berdasarkan hasil tersebut, Salman mengatakan pihak pemohon seharusnya ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilbup Kabupaten Deiyai Tahun 2018 dengan akumulasi perolehan 17.346 suara ditambah 3.273 menjadi 20.619 suara.

Karena itu, Inarius - Anakletus meminta mahkamah untuk membatalkan Keputusan KPU Kabupaten Deiyai Nomor: 30/HK.03.1-Kpt/9128/KPU-Kab/X/2018 tentang Penghitungan Suara dari Setiap Distrik di Tingkat Kabupaten dalam Pilbup Kabupaten Deiyai, mendiskualifikasi Paslon Nomor Urut 1 karena melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif.

Selain itu, pemohon juga meminta mahkamah untuk menetapkan perolehan suara hasil Pilkada Kabupaten Deiyai Tahun 2018 yang benar menurut pemohon, yaitu Ateng Edowai dan Hengky Pigai (paslon nomor urut 1) memperoleh 17.605 suara, Keni Ikamou dan Abraham Tekege (Paslon Nomor Urut 2) memperoleh 7.548 suara, Dance Takimai dan Robert Dawapa (paslon nomor urut 3) memeroleh 15.226 suara, dan pemohon memperoleh 20.619 suara.



Jawaban KPU

Atas gugatan sengketa hasil PSU Kabupaten Deiyai tersebut, KPU Kabupaten Deiyai kemudian memberikan jawaban dalam forum persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Dalam keterangannya, KPU Kabupaten Deiyai menilai gugatan Inarius - Anakletus telah melanggar PKPU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada 2018.

"Ini melanggar dikarenakan jadwal nasional serta tahapan program tidak terdapat lagi waktu upaya pengajuan hukumnya dan yang menjadi objek sengketa Perkara 35/PHP.BUP-XVI/2018 lalu itu pun pada prinsipnya telah mendapatkan keputusan berkekuatan hukum tetap," kata kuasa hukum KPU Kabupaten Deiyai Agustino R. Mayor.

KPU juga menampik dugaan adanya kecurangan dalam pemungutan suara ulang (PSU) di 12 TPS di wilayah Deiyai sebagaimana didalilkan oleh paslon Inarius Douw dan Anakletus Doo.

KPU menyebutkan PSU yang dilakukan pada 12 TPS berjalan dengan baik, aman, dan lancar serta telah disupervisi dan dijaga pihak keamanan dan TNI.

Terkait dengan tudingan manipulasi suara, KPU Kabupaten Deiyai menampik dugaan tersebut dan menjelaskan bahwa pada saat dilaksanakannya PSU tidak ada surat yang menyatakan adanya bukti yang menguatkan kegiatan tersebut dalam selembar surat kesepakatan.

Menurut KPU Kabupaten Deiyai, pada saat hari diselenggarakannya PSU, pemilih mendatangi TPS dan melakukan kesepakatan dengan menuliskannya pada papan tulis, dan dilanjutkan dengan petugas dengan mengisi form C1KWK.



Keterangan Saksi

Dalam sidang berikutnya, Paslon Inarius - Anakletus menghadirkan Kepala Suku Distrik Deiyai 1 Marius Ukago sebagai saksi. Marius mengungkapkan hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Kepala Daerah Deiyai 2018 memperlihatkan bahwa Paslon Nomor Urut 1 meraih 286 suara, Paslon Nomor Urut 2 mendapat 2 suara, Paslon Nomor Urut 3 memperoleh 1 suara. Sedangkan Paslon Nomor Urut 4 meraih 2.000 suara.

Menurut Marius, seluruh hasil perolehan suara para pasangan calon tersebut sudah berdasarkan kesepakatan tertulis masyarakat Deiyai. Setelah itu, hasil perolehan suara tersebut disampaikan ke KPU Kabupaten Deiyai, namun ditolak oleh salah seorang komisioner KPU Kabupaten Deiyai.

Tentang kesepakatan masyarakat terhadap suara para paslon juga dibenarkan Agusten Yuppy, tokoh masyarakat Deiyai yang menjelaskan perolehan suara di Distrik Kapiraya.

"Masyarakat sudah menyatakan kesepakatan suara masing-masing pasangan calon, namun ada aparatur sipil negara dan kepala kampung yang meminta kesepakatan itu diubah sehingga menimbulkan tindak kekerasan terhadap sejumlah orang yang menolak permintaan itu," kata Agusten kepada majelis hakim yang dipimpin sidang di MK Anwar Usman.

Sementara saksi KPU Kabupaten Deiyai, yaitu Othias Edowai yang juga anggota Panitia Pemilihan Distrik Tigi Barat, dalam keterangannya mengatakan bahwa penentuan suara dilakukan berdasarkan kesepakatan warga dan tidak ada keberatan dari para pihak terhadap hal tersebut.

Selain pihak Inarius - Anakletus dan KPU, pihak Paslon Ateng - Hengky juga menghadirkan saksi bernama Oktavianus Ukago yang menerangkan soal kesepakatan suara para paslon.

Menurut Oktavianus, tidak pernah terjadi kesepakatan masyarakat soal suara paslon sebelum tanggal 15 Oktober 2018.

Sebaliknya, tim Paslon Inarius - Anakletus lah yang membuat surat kesepakatan suara yang ditulis di dalam tripleks melalui formulir C1 hologram.

Kesaksian Oktavianus ini dibenarkan oleh Metusalakinfandi yang merupakan perwakilan Bawaslu Provinsi Papua.

"Memang pada saat kami melakukan pemantauan, kami melihat proses itu terjadi, hasil kesepakatan itu ditulis di tripleks lalu petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara melakukan pencoblosan dan proses administrasinya dituangkan dalam form C1-KWK," ujar Metusalakinfandi.

Berdasarkan keterangan para saksi, MK menilai adanya inkonsistensi dalam surat kesepakatan noken mengenai jumlah suara yang diberikan pada masing-masing paslon.

Perkara ini masih menunggu putusan MK, dan semoga putusan MK dapat memberikan keadilan bagi seluruh pihak yang berperkara dan menegaskan siapa kepala daerah yang sesungguhnya dikehendaki sebagian besar masyarakat Kabupaten Deiyai.*


Baca juga: Ada pelanggaran dalam pilkada di Kabupaten Deiyai Papua

 

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018