Jakarta (ANTARA News) - Sekarang, zamannya orang bicara soal perubahan iklim. Di mana-mana, orang berdiskusi tentang pemanasan global dan mencairnya es di kutub, lalu berdebat keras tentang bagaimana caranya mengurangi emisi gas karbon. Tapi di skala yang lokal, perubahan iklim bukan lagi sekedar cerita atau bahan berdiskusi. Perubahan iklim telah mengusik interaksi alamiah antara alam-manusia. Fenomena ini pula yang menimbulkan salah satu efek berupa pergeseran musim. Bila dulu orang tua sering mengajarkan kepada anak-anak mereka bahwa musim hujan terjadi pada bulan-bulan yang berakhiran "ber", seperti Oktober, November, dan Desember. Kini prakiraan itu tidak lagi "ampuh", karena justru musim hujan telah bergeser ke bulan-bulan yang tidak berakhiran "ber". "Bergesernya awal musim hujan berdampak sangat besar buat para petani. Mereka semakin kesulitan memperkirakan secara tepat kapan seharusnya mulai menanam," kata kata Kusnomo Tamkani, Asisten II Administrasi Pemerintah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sedangkan informasi ramalan akhir musim hujan atau awal musim kemarau, sangat diperlukan untuk menentukan apakah musim tanam berikutnya akan menanam padi lagi dan budidaya apa? Apakah akan menanam palawija atau sayuran, atau tanaman lain yang lebih genjah dan tahan kering? Kusnomo menjelaskan kearifan lokal yang sangat luhur yang dulu selalu dijadikan "pakem" menentukan awal musim tanam kini mulai ditinggalkan, karena lingkungan sebagai dasar perhitungan kian tidak serasi. "Petani kehilangan pegangan yang bisa secara utuh dijadikan dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan," ujar dia. Sementara informasi dari pemerintah, dalam hal ini Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), bahasanya sulit dipahami oleh petani. Lalu pada 2002, lanjut Kusnomo, ketika ada rombongan kecil dari IPB, Departemen Pertanian, dan BMG datang ke kantor Dinas Pertanian Indramayu, harapan agar petani bisa memahami iklim secara lebih baik pun mulai terbuka lebar. Kunjungan kerja itu bertujuan memberikan pencerahan para pemangku kebijakan sektor pertanian Indramayu, sebagai lumbung padi nasional, tetang hal-hal yang berkaitan dengan iklim dan permasalannya. Secercah harap untuk dapat memahami perilaku iklim yang sudah mulai menyimpang dari perhitungan nenek moyang, ungkap dia, mulai mendapat titik terang. Potret Indramayu Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terletak di pantai utara Laut Jawa yang berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Majalengka di selatan, Kabupaten Cirebon di timur, dan Kabupaten Subang di barat. Tiap tahun, Indramayu memproduksi padi rata-rata 1.28 juta ton gabah kering. Hal ini menjadikan kabupaten berpenduduk 1,7 juta jiwa itu sebagai kawasan penghasil beras terbesar di Indonesia, dan pemasok terbesar komoditi beras untuk stok nasional. Namun akibat letak geografisnya yang merupakan hulu 13 sungai, Indramayu rentan bencana banjir dan kekeringan yang hampir terjadi setiap tahun. Kondisi ini pula yang menyebabkan produksi padi di Indramayu sangat fluktuatif dan berdampak terhadap pendapatan para petani serta perekonomian daerah secara umum. Kegagalan panen yang cukup luas menimbulkan kerugian sangat besar bagi petani. Bukan petani saja, tapi juga sektor lain. Hal itu tergambar dari rendahnya layanan pendidikan dan kesehatan di Indramayu, akibatnya secara keseluruhan standar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah tersebut juga rendah. "Salah satu faktor terbesar kegagalan panen di Indramayu terkait erat dengan kegagalan petani membaca musim dan iklim," kata Kusnomo. Informasi Prakiraan Iklim (IPI) yang sudah lama dirilis oleh BMG sebenarnya sangat diharap bisa menjadi pegangan bagi petani pada saat memulai usahanya. Tapi akibat bahasa yang dipakai dalam uraian IPI itu terasa sulit untuk dipahami petani dan petugas penyuluh pertanian, kerap IPI tidak dipakai sepenuhnya sebagai bahan pertimbangan petani. "Ada banyak kendala yang dihadapi petani untuk bisa menggunakan IPI sebagai acuan bertani, salah satunya adalah istilah klimatologi yang sulit dipahami, cakupan pewilayahan informasi iklim yang masih terlalu luas, dan akurasi prakiraan BMG yang masih rendah," kata dia menjelaskan. Namun petani tidak mau berdiam begitu saja dalam nasib. Membaca Langit Sejak tahun 2002 Dinas Pertanian Indramayu bekerja sama dengan berbagai pihak terkait memulai inseminasi IPI dengan modul yang sangat sederhana kepada para petani. Modul sederhana itu disebut dengan Sekolah Lapang Iklim (SLI), semacam sekolah informal buat para petani yang usianya punya rentang cukup jauh, ada pemuda ada pula orang tua. Mereka belajar membaca langit. Mereka diperkenalkan kepada ilmu iklim yang didasarkan atas kajian teknologi dengan variannya yang disimpulkan dari data yang punya durasi cukup panjang. Secara sederhana SLI di Indramayu mengajarkan petani menjadi pembaca langit secara mandiri, mereka mendata curah hujan di sawah masing-masing, lalu tiap 10 hari petani yang bergabung dalam kelompok-kelompok SLI berkumpul dan membahas hasil pantauan mereka. SLI diadopsi dari Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT) yang telah lama dikembangkan oleh Departemen Pertanian (Deptan). Pakar iklim dari IPB, Ir Rizaldy Boer dengan timnya kemudian menyusun modul untuk SLI, sebagai metode penyampaian IPI kepada para petani. Modul ini merupakan modul dasar SLI, Kusnomo mengakui, karena baru membahas masalah dasar klimatologi yang perlu diketahui oleh petani, yang menjadi penerima manfaat data IPI. Di bagian tengah hingga akhir modul yang dirancang 12 kali pertemuan, fokus ditekankan untuk mengajak petani untuk bisa berimprovisasi dalam penyusunan strategi pertanaman dan pola tanam yang cocok dengan perilaku iklim di daerahnya masing-masing. Menurut data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Kabupaten Indramayu memiliki enam tipe pola curah hujan yang berbeda-beda, semuanya harus dipantau dengan baik. Itu pula sebabnya kelompok-kelompok SLI dibagi ke dalam tipe pola curah hujan yang berbeda, agar penentuan awal musim hujannya semakin tepat, kata Kusnomo. Walau masih di kategori dasar, SLI Indramayu ternyata diminati oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya, kata Prof. Mezak A. Ratag, Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG. Ia menjelaskan, "Mereka sangat tertarik untuk mengembangkan SLI menjadi pola pendidikan petani tentang informasi iklim di negara mereka masing-masing." (*)

Oleh Oleh Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2007