Kupang (ANTARA News) - Sisa-sisa air masih tampak meluap dari gorong-gorong yang tersumbat sampah saat musim hujan datang melanda Kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, seperti yang sedang terjadi saat ini.

Pemandangan seperti itu, menjadi biasa bagi warga Kota Kupang, karena sebagian warga kota masih berperilaku buruk yaitu membuang sampah di sembarang tempat.

Dalam keadaan seperti itu, para penyelam gorong-gorong hadir bagai pahlawan untuk membersihkan parit-parit yang tersumbat sampah agar aliran air lancar meski luapan banjirnya sangat besar sekali pun.

Hari-hari in, Kupang yang dijuluki Kota Kasih itu sedang diguyur hujan, sehingga membuat sejumlah ruas jalan dalam kota, seperti Jalan Timor Raya, Jalan Raya El Tari, Jalan Jenderal Soeharto, dan Jalan HR Koroh tak luput dari genangan banjir bercampur sampah.

Semuanya itu terjadi akibat perilaku buruk warga kota yang membuang sampah di bantaran kali dan di sembarang tempat, sehingga membuat jalan raya penuh dengan genangan air dan sampah yang berserakan saat musim hujan tiba.

Mulai pukul 05.00 pagi, para petugas kebersihan telah turun ke pasar-pasar untuk membersihkan sampah dari sisa jualan oleh para pedagang serta membersihkan gorong-gorong di sekitarnya yang tampak jorok dan menjijikan itu.

Setiap kali turun ke pasar atau tempat-tempat yang masih jorok, para petugas kebersihan selalu menyapa dengan ucapan "selamat pagi" pada kebersihan dan menyampaikan "selamat tinggal" pada sampah.

"Kebiasaan ini rutin dilakukan di kala hujan mulai turun," kata Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah pada Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kupang Paulus Dian Foenale.

Pada minggu lalu, para petugas kebersihan dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kupang turun ke sejumlah titik untuk membersihkan sampah dari bekas kiriman banjir.

Salah satu titik lokasi yang menjadi sasaran pembersihan adalah gorong-gorong di dekat Markas Polda Nusa Tenggara Timur di Jalan Jenderal Soeharto serta Gereja Kemah Kesaksian Sikumanah di Jalan HR Koroh.

Senjata mereka adalah sekop dan linggis, sedang masker, sarung tangan, dan sepatu boot adalah alat pelindung bagi mereka agar terhindar dari kuman.

"Dengan kelengkapan apa adanya, mereka terjun ke gorong-gorong dan membersihkannya," ujar Paulus dan menjelaskan pembersihan dilakukan dengan cara penyedotan air terlebih dahulu dengan menggunakan tangki milik Dinas Kebersihan, kemudian para petugas turun ke dalam selokan untuk mengeruk lumpur dan sampah.

Selain harus bekerja di dalam gorong-gorong yang kotor dan bau tak sedap, petugas juga menghadapi risiko mengalami "musibah" seperti penuturan Paulus atas peristiwa pada suatu subuh pada pekan lalu .

Saat itu ada tiga orang anggota pasukan orange (baju seragam kerja berwarna jingga) sedang membersihkan gorong-gorong di sekitar Markas Polda NTT, tiba-tiba salah satu tanki penampung air yang baru disedot dari gorong-gorong jebol sehingga air menyemprot para petugas.

Suara tanki yang jebol mengagetkan petugas, sehingga dua orang petugas kebersihan berhasil menghindar, tetapi seorang lainnya terkena hantaman air kotor pada tubuhnya.

"Saya hanya bisa mengelus dada saat kedua rekan kami menampakkan diri di permukaan gorong-gorong sambil menghela napas," kata Paulus dan menambahkan setiap pekerjaan pasti ada risikonya.

Seorang petugas lain akhirnya bisa selamat juga.

Kondisi itulah yang tergambar dalam diri petugas kebersihan Kota Kupang.

"Apa pun risikonya, pekerjaan harus tetap dilaksanakan demi menjaga Kota Kupang agar tetap bersih," ujarnya.

Pada hari itu petugas mengumpulkan hingga lima truk sampah plastik yang dikeruk dari dalam gorong-gorong di sekitar Markas Polda NTT.

Penyedotan dan pengerukan sampah pun terus dilakukan para petugas kebersihan pada sejumlah pasar dalam Kota Kupang, seperti Pasar Oeba, Pasar Kasih Naikoten, dan Pasar Kuanino.

Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kupang memiliki 247 sopir dan awak kebersihan serta 62 penyapu yang siap membersihkan Kota Kupang dari genangan banjir di jalanan serta membersihkan gorong-gorong.



Prajurit oranye

Berseragam oranye adalah identitas di lapangan bagi para petugas kebersihan dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kupang. Sehari-harinya mereka keluar-masuk pasar di kota yang merupakan ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk membersihkan pasar dari tumpukan sampah yang ditinggalkan oleh para pedagang.

Saat hujan turun dengan derasnya, berbagai macam sampah dengan aroma tak sedap hanyut terbawa banjir dan masuk ke dalam gorong-gorong yang membuat saluran air buangan itu meluap dan menggenangi jalanan umum. 

Yatni, salah seorang penjual di Pasar Kasih Naikoten mengaku di kala hujan tiba, sampah-sampah di pasar akan semakin berserakan ke bahu jalan.

Gorong-gorong menjadi tersumbat dan airnya meluap hingga ke badan jalan. Sampah-sampah dalam pasar akan dibawa air keluar dari pasar. "Jadi, kami yang berjualan dengan beralas tikar ini harus mencari tempat lain," kata Yatni.

Para petugas bertugas memmbersihan kota secara berkala sesuai jadwal yang ditetapkan, namun dalam cuaca yang buruki pasukan oranye harus setiap saat turun lapangan untuk membersihkan pasar dari noda-noda sampah.

Pada saat warga kota yang lain masih lelap atau baru bangun dari tidur mereka, sekitar pukul 05.00 pagi, para petugas kebersihan dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kupang telah sibuk mengangkut sampah dari tong-tong sampah yang ditebar di berbagai ruas jalan dalam Kota Kupang.

Meskipun sampah seringkali memancarkan aroma yang tidak sedap, pasukan oranye tetap setia untuk menghadapinya dengan 38 kendaraan operasi yang tersebar ke beberapa lokasi untuk menciptakan lingkungan kota Kupang yang bersih dan asri.

Tugas mulia mereka adalah menjaga agar kota tetap bersih dan membuat warga kota dapat hidup lebih sehat. Aktivitas kerja mereka akan sangat terbantu apa bila warga kota ikut menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah secara sembarangan.*


Baca juga: "Pasukan Oranye" dikerahkan pungut sampah di depan KPU

Baca juga: Pasukan Oranye Tetap Siaga Saat Lebaran



 

Pewarta: Laurensius Molan dan Dora Soera Ribka
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018