Jakarta (ANTARA News) - Delegasi Badan Kehormatan (BK) DPR RI, Senin siang menemui Ketua DPR Agung Laksono di Gedung DPR/MPR Jakarta untuk mempertanyakan pengangkatan Nurdin Halid menjadi Anggota DPR pada 13 September 2007, sedangkan pada 14 September Mahkamah Agung (MA) mengumumkan putusan kasasi dua tahun penjara bagi Nurdin dalam kasus pengadaan minyak goreng. Delegasi BK DPR yang menemui Agung Laksono, yaitu Wakil Ketua BK Gayus Lumbun dan Darus Sagap. "Kami mempertanyakan kepada Ketua DPR mengenai prosedur yang telah dilakukan hingga akhirnya Nurdin Halid dilantik menjadi anggota DPR," kata Darus Sagap. Dia mengemukakan, jika pengangkatan Nurdin halid terbukti tidak sesuai prosedur, maka BK DPR akan mempersoalkan langkah yang telah ditempuh pimpinan DPR dan meminta DPR mengembalikan atau membatalkan pengangkatan itu. Dia mengatakan, pelantikan Nurdin Halid itu memperburuk citra DPR. Karena itu, BK DPR mempertanyakan langsung kepada pimpinan DPR. Nurdin Halid dilantik menjadi anggota DPR melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) menggantikan Andi Mattalata yang diangkat menjadi Menteri Hukum dan HAM. Berdasarkan UU tentang Susunan Kedudukan Anggota DPR, DPD, MPR dan DPRD, mekanisme PAW ditempuh setelah ada pengajuan dari partai politik yang bersangkutan ke pimpinan DPR. Pimpinan DPR melanjutkan permohonan itu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selanjutnya KPU meneruskannya ke Presiden untuk diterbitkan Keppres PAW. Sementara itu, Ketua DPR Agung Laksono mengemukakan, DPR akan segera menyikapi status Nurdin Halid. Sebelum DPR bersikap, DPP Golkar akan membahasnya dalam Rapat pleno DPP Golkar pada Selasa (18/9). Dengan keputusan MA pada tingkat kasasi itu, kemungkinan Nurdin Halid akan ditarik kembali dari DPR dan diganti anggota baru yang merupakan Caleg di bawah nomor urut Nurdin Halid. "Pendapat saya, sebaiknya ditarik dan kemungkinan dia," kata Agung yang juga Wakil Ketua Umum DPP Golkar. Agung menyayangkan proses di KPU yang tidak mendetil dengan langsung mengajukan permohonan PAW ke Presiden. Mestinya, KPU terlebih dahulu melakukan pengecekan dan klarifikasi ke pengadilan. Pengadaan Migor Mantan Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) Nurdin Halid divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA). Majelis hakim kasasi MA dalam petikan putusan Nomor 1384K/Pid/2005 yang diterima Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Andi Samsam Nganro, pekan lalu, menyatakan Nurdin Halid secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng. "Petikan putusan itu menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Andi. Selain itu, Nurdin juga dikenai denda Rp30 juta subsider enam bulan penjara. "Seluruh barang bukti yang tercantum dalam daftar barang bukti tetap dilampirkan dalam berkas perkara," kata Andi. Terkait putusan tersebut, Andi telah memberitahu pihak kejaksaan untuk melakukan langkah lebih lanjut. Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan hakim MA yang terdiri dari Iskandar Kamil, Parman Suparman, Joko Sarwoko, dan Mugiharjo pada 13 Agustus 2007. Sebelumnya, pada pengadilan tingkat pertama Nurdin dituntut 20 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan minyak goreng menjelang bulan puasa. Namun, majelis hakim membebaskan Nurdin. Majelis menyatakan bahwa perbuatan terdakwa dalam melaksanakan penugasan pemerintah untuk menyediakan stok minyak goreng menjelang puasa dan hari raya bisa dilakukan dengan menggunakan dana pendistribusian minyak goreng dari Bulog. Karena itu, majelis hakim memerintahkan JPU untuk membebaskan Nurdin dari segala dakwaan dan memulihkan nama baik dan harkatnya seperti semula. Majelis juga memerintahkan JPU untuk mengembalikan semua barang bukti kepada pihak yang berhak, dalam hal ini KDI. Waktu itu, JPU Arnold Angkouw langsung menyatakan kasasi atas putusan tersebut. "Ini di luar dugaan kami. Kami menuntut terdakwa 20 tahun dan majelis hakim membebaskannya dari tuntutan JPU. Menurut Arnold, ada perbedaan persepsi dan pertimbangan antara majelis hakim dengan JPU, terutama mengenai kebijakan hasil rapat KDI yang menunda penyetoran dana hasil penjualan minyak goreng senilai Rp169 miliar. Keputusan ini dinilai perbuatan melawan hukum.(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007