Jakarta, 5/12 (ANTARA News) - Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai "mahkota" bagi wartawan karena mengatur pers dalam menyajikan informasi untuk kepentingan publik.

Ahli pada sidang penggugatan terhadap dewan pers yang merupakan mantan anggota dewan pers dan mantan Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Wina Armada mengatakan kode etik jurnalistik dibuat untuk mengatur segala kewajiban wartawan.

"Seperti halnya wartawan yang seharusnya tidak menulis jika ada kasus hakim kena korupsi, tapi dia tuliskan. Ada hakim yang diperiksa Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan bersih sekali, tapi pers tidak memberitakannya. Padahal harusnya pers itu 'balance' (seimbang). Kode etik ini adalah mahkota buat wartawan," jelas Wina di Jakarta, Rabu.

Menuru Wina, pers yang tidak mengerti kode etik maka dia melanggar bahkan menginjak-injak profesi wartawan.

Di Indonesia, KEJ memiliki posisi yang unik karena secara etis diatur dan disahkan oleh hampir semua organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers dan lain sebagainya.

Namun, KEJ  juga diatur dalam UU pers nomor 40 tahun 1999 yaitu dalam pasal 7 ayat 2 disebut bahwa wartawan wajib memiliki kode etik dan menaati kode itu.

"Jadi, pembuatan etika ini ada dua, kekuatan yuridis dan etis. Maka pelanggaran pada etika adalah pelanggaran terhadap yuridis dan etika. Maka UU pers menjadikan kode etik mahkota bagi wartawan," tukasnya.

Kemerdekaan pers, jelas Wina, merupakan milik rakyat sebagai bagian cerminan supremasi kedaulatan rakyat. Pers diberikan amanat untuk menjalankan kemerdekaan pers, bukan sesuatu yang bisa anarki terhadap hukum, tapi menghormati supremasi hukum disebut dalam UU pers.

Wina juga menyarankan agar dewan pers mengeluarkan kode perilaku wartawan agar wartawan tidak seenaknya saja lalu-lalang di ruang sidang tanpa seizin hakim, atau meneriaki tersangka di ruang sidang.

Pihaknya menilai dewan pers berwenang mengeluarkan peraturan berupa standar kompetensi wartawan (SKW) dan kode etik jurnalistik karena telah diatur dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2 huruf F yang membahas fungsi pers dengan bunyi memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.

Dewan pers digugat karena dinilai tidak punya otoritas atau kewenangan mengeluarkan Peraturan Dewan Pers (PerDP) dan melanggar UU Pers No 40 Tahun 1999 karena mengekang kebebasan pers.

Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua, Abdul Kohar, kuasa hukum penggugat Dolfie Rompas, serta kuasa hukum Dewan Pers Frans Lakaseru dan Dyah Aryani dengan agenda nomor 235/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst.

Dewan Pers digugat oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia Wilson Lalengke.

Dewan pers digugat karena dianggap tidak memiliki kewenangan mengeluarkan peraturan dewan pers, seperti standar kompetensi wartawan (SKW) dan KEJ.

Semua peraturan tersebut oleh penggugat selain melanggar UU Pers No 40 Tahun 1999, juga mengekang kebebasan pers.

Oleh karena itu penggugat meminta pengadilan menyatakan DP tidak punya otoritas atau kewenangan mengeluarkan PerDP dan menyatakan semua peraturan itu tidak berlaku.

Baca juga: Dewan Pers tegaskan kewenangannya sesuai UU
Baca juga: Dewan Pers: Media jangan partisan



 

Pewarta: Tessa Qurrata Aini
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018