Jakarta (ANTARA News) - Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan, perbedaan pandangan atau sengketa yang terjadi antara dua lembaga negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) sebaiknya diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk itu. "Saya juga baru baca dari koran dan yang saya tahu kalau ada sengketa kewenangan antara dua lembaga negara maka penyelesaiannya ada di lembaga Mahkamah Konsitusi," katanya menjawab petanyaan watawan di Kantor Presiden Jakarta, Kamis. Ketika ditanya apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa ikut hadir dalam proses mediasi sebagaimana yang diharapkan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Andi Mallarangeng tidak mau berspekulasi mengenai hal itu. "Saya tidak mau berspekulasi tentang hal tersebut tetapi Presiden adalah Kepala Negara dan dalam keadaan-keadaan tertentu fungsi kepala negara juga seringkali dilakukan, tentu saja kalau ada permintaan dari kedua belah pihak," katanya. Namun, lanjut Andi, kalau secara formal sebenarnya ada di MK. karena dalam hal sengketa kewenangan antar lembaga UU mengatakan, penyelesaiannya itu di MK. "Saya tidak bisa berspekulasi apa-apa, kita lihat saja perkembangannya," katanya. Sementara itu, di tempat yang sama Kapolri Jenderal Sutanto menyatakan bahwa terkait dengan laporan BPK terhadap MA kepada Mabes Polri pihaknya masih mempelajari kasus tersebut secara cermat. Sebelumnya, Rabu (19/9), Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan, pihaknya akan segera meminta fatwa Mahkamah Konstitusi terkait pelaporan Ketua BPK kepada Mabes Polri tentang Ketua MA yang menolak audit biaya perkara. Menurut dia, langkah tersebut dilakukan BPK sesuai dengan ketentuan yang ada, seandainya memang terjadi perbedaan pendapat antar lembaga. "Kalau ada perbedaan pendapat antar lembaga, nah ini porsi dari pak Jimly (Jimly Asshiddiqie-Ketua MK)," kata Anwar. Dia menambahkan, langkah pelaporan Ketua MA ke Mabes Polri yang dilakukannya pada 13 September 2007 lalu itu menggunakan dasar UUD 45 pasal 23, UU 20/1997 tentang PNBP, UU 15/2006 tentang BPK dan UU 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara terutama pasal 24 ayat 2. "Dalam pasal 24 ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan dan/atau denda paling lama Rp500 juta," katanya. Menurut dia, selama ini MA memberlakukan uang perkara berdasarkan peraturan mereka sendiri, dan menggunakannya tanpa izin Depkeu serta tanpa dilaporkan ke DPR sebagai pemegang hak budget. "Jadi selain dana resmi yg didapatkan MA, ada juga dari sumber PNBP-PNBP yang tidak diketahui oleh orang. itu yg menjadi masalah," katanya. Dia mencontohkan, biaya perkara peninjauan kembali (PK) perdata umum, agama dan Tata Usaha Negara (TUN) Rp2,5 juta per perkara, kemudian biaya perkara kasasi perdata umum, agama dan TUN sebesar Rp 500.000, biaya perkara PK perdata niaga sebesar Rp10 juta, biaya kasasi perdata niaga sebesar Rp5 juta. "Masalah ini sudah lebih dari setahun dan sudah kita berikan cukup waktu. Taktik yang mereka gunakan selalu mengulur-ulur waktu, mencari kesepakatan. Padahal susah mencari kesepakatan karena BPK bukan pengambil keputusan. Mau diapakan uang itu adalah kewenangan DPR dan pemerintah yaitu Menkeu. Jadi kita melakukan upaya terakhir yaitu ke Kepolisian," jelasnya. Anwar juga mengusulkan agar Menkeu mengeluarkan PP terkait penggunaan biaya perkara di MA agar terlabih dahulu masuk ke kas negara atau daerah, baru kemudian dikeluarkan kembali sesuai permintaan MA.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007