Jakarta (ANTARA News) - Di tengah perseteruan antara Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal audit biaya perkara, SK yang dikeluarkan Ketua MA soal keterbukaan informasi menjadi tidak berarti. Koordinator bidang monitoring peradilan ICW, Emerson Yuntho, di Jakarta, Jumat, mengatakan, Peraturan MA (Perma) tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan yang dikeluarkan Ketua MA Bagir Manan pada 28 Agustus 2007, hanya wacana belaka dan masih bersifat "setengah hati". "Niat MA untuk transparan masih kita pertanyakan, meski sudah ada Perma yang mengatur soal kebebasan informasi," ujarnya. Pasal 6 SK MA No 144/KMA/SKIVIII/2007 itu mengatur bahwa biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan, tugas, dan kewajiban pengadilan, termasuk informasi yang harus diumumkan oleh pengadilan. Pasal 3 SK itu juga mengatur bahwa pengadilan menyediakan informasi tersebut secara terbuka dan dapat diakses oleh publik. Namun, pasal 19 SK tersebut mengatur bahwa informasi administrasi dan keuangan pengadilan yang terbuka hanyalah pedoman pengelolaan administrasi dan keuangan pengadilan, bukan pengelolaan keuangan itu sendiri. "Jadi, meski SK itu dimaksud untuk menciptakan proses peradilan yang transparan, tetapi dengan adanya pasal itu, maka niat itu menjadi tidak berarti," ujar Emerson. Ia berpendapat, jika MA serius untuk bersikap transparan, maka seharusnya yang dibuka kepada publik adalah pengelolaan keuangan, bukan hanya pedomannya saja. MA menerima setoran biaya perkara untuk tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) dari seluruh Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia. Besarnya biaya kasasi untuk perdata umum, agama, dan Tata Usaha Negara (TUN) Rp500.000 , sedangkan untuk tingkat PK adalah Rp2,5 juta. Untuk kasus perdata niaga, besarnya biaya perkara Rp5 juta pada tingkat kasasi, sedangkan pada tingkat PK Rp10 juta. Berbeda dengan rincian biaya perkara yang lebih detil di tingkat PN dan dapat dikembalikan apabila berlebih, MA tidak merinci penggunaan biaya perkara dan selalu habis sesuai dengan nilai yang disetorkan oleh pihak PN. MA mengklaim biaya perkara itu dihabiskan untuk mengirim berkas perkara kembali ke PN asal, serta untuk biaya penggandaan dan penjilidan. Emerson mengusulkan, wacana penambahan tunjangan kinerja untuk MA sebaiknya jangan direalisasikan sebelum pengelolaan biaya perkara di MA berhasil diaudit oleh BPK.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007