Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia mengakui kegagalannya untuk menjadi anggota dewan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO kategori III. "Kita kalah suara dalam pemilihan dan penentuan keanggotaan pada sidang ICAO di Montreal, Kanada, kemarin pagi (25/9) waktu setempat," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Dephub Bambang S. Ervan saat dihubungi di Jakarta, Rabu malam. Tim delegasi Indonesia dalam forum itu dipimpin Dirjen Perhubungan Udara Budhi M. Suyitno. Dia mengatakan, dalam penentuan keanggotaan pada sidang ICAO itu, Indonesia kurang mendapat dukungan suara yang kuat dari para anggota ICAO sebanyak 175 negara yang hadir dari keseluruhan 185 negara anggota. Syarat untuk dipilih menjadi anggota dewan ICAO, kata Bambang, harus mendapatkan dukungan suara minimal sebanyak dua per tiga dari seluruh anggota yang hadir dalam sidang itu. Dewan ICAO terdiri atas tiga kategori. Kategori pertama mewakili negara- negara yang industri penerbangannya sudah sangat maju dan menjadi donor dalam komunitas penerbangan internasional, seperti AS. Kategori kedua dari negara-negara yang memberikan sumbangan cukup besar dalam hal kenavigasian. Kategori ketiga adalah negara-negara yang memiliki wilayah udara yang luas. Indonesia pernah jadi anggota Dewan ICAO. Namun, pada 2001 keanggotaan Indonesia dicabut karena dianggap kurang berperan aktif. Sebelum berangkat ke Montreal, Indonesia sudah melobi beberapa negara Afrika. Dalam pertemuan tingkat dirjen perhubungan udara negara-negara se-Afrika di Kenya, 22 negara sudah menyatakan dukungannya. Pemerintah juga sudah melobi beberapa negara Amerika Selatan dan Asia. Pada sidang ICAO kali ini, selain berkepentingan untuk masuk dalam keanggotaan dewan ICAO, Indonesia juga memanfaatkan momen tersebut untuk menjelaskan kondisi terakhir penerbangan Indonesia. Sebelumnya, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal dalam pidatonya pada pertemuan tersebut meminta ICAO untuk menetapkan standar dan mekanisme dalam pemberlakuan larangan terbang oleh suatu negara terhadap maskapai negara lain. Standardisasi larangan terbang antara lain, mencakup soal mekanisme penetapan larangan terbang, jangka waktu dan kewajiban konfirmasi serta verifikasi ke negara yang bakal terkena sanksi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007