upaya untuk mengurangi ekspor komoditas yang porsinya mencapai hampir 30 persen dari total ekspor Indonesia sangat penting, agar ekspor tidak lagi rentan terhadap perlambatan ekonomi yang terjadi di negara mitra dagang utama seperti China.
Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengingatkan pentingnya pengembangan industri pengolahan yang bernilai tambah agar kinerja ekspor Indonesia tidak lagi sepenuhnya bergantung kepada komoditas.

"Perlu ada 'review' kebijakan secara lebih komprehensif untuk mengembangkan industri ekspor 'value-added' dalam negeri," kata Satria dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Satria menjelaskan upaya untuk mengurangi ekspor komoditas yang porsinya mencapai hampir 30 persen dari total ekspor Indonesia sangat penting, agar ekspor tidak lagi rentan terhadap perlambatan ekonomi yang terjadi di negara mitra dagang utama seperti China.

"Struktur ekspor yang bergantung pada komoditas membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap perlambatan global, terutama di China yang mengkonsumsi banyak ekspor komoditas kita seperti batubara dan bahan tambang," katanya.

Pembenahan juga diperlukan karena kinerja ekspor terganggu oleh tingkat pertumbuhan investasi asing yang menunjukkan tren penurunan, padahal Indonesia sangat membutuhkan penanaman modal untuk industri manufaktur berorientasi ekspor guna menyehatkan neraca perdagangan.

Kondisi ekspor yang mengkhawatirkan ini menyebabkan neraca perdagangan selama 2018 tercatat defisit mencapai 8,57 miliar dolar AS, atau yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka, meski impor juga tinggi terutama migas maupun bahan modal untuk pembangunan.

"Untuk mengatasi risiko global, penting bagi Indonesia untuk memulai upaya akselerasi reformasi struktural pada 2019, terutama agar ketergantungan kepada ekspor komoditas makin berkurang dan mencari pasar ekspor yang lebih beragam," kata Satria.

Dengan defisit neraca perdagangan yang tercatat sepanjang tahun, maka Satria memperkirakan neraca transaksi berjalan secara keseluruhan mengalami defisit sebesar 31,3 miliar dolar AS atau 3,1 persen terhadap PDB pada 2018.

Sedangkan, untuk tahun ini, ia memproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan berada pada kisaran 2,8 persen terhadap PDB dengan kondisi neraca keseimbangan eksternal masih dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global dan rendahnya harga komoditas di 2019.

"Defisit neraca transaksi berjalan yang masih melebar ini menandakan ekonomi Indonesia kemungkinan tidak memiliki ketahanan dari pergerakan global seperti yang diperkirakan," kata Satria.

Baca juga: Pengembangan produk ekspor disesuaikan permintaan pasar dunia
 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019