Semarang (ANTARA News) - Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) dinilai tidak berdaya menghadapi otoritarianisme junta militer Myanmar yang selalu menekan gerakan prodemokrasi dengan kekerasan. Pengamat politik internasional Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Tri Cahyo Utomo, pada Senin mengatakan, tidak banyak yang bisa dilakukan ASEAN, sebab bagi Myanmar, Cina dan India jauh lebih penting dibandingkan ASEAN. Dua negara tersebut menjadi mitra dagang penting bagi Myanmar dan selama ini juga cenderung memberi proteksi atas berbagai tekanan dunia internasioal terhadap masalah pelanggaran hak asasi manusia. Ia memberi contoh, betapa ASEAN tidak bisa berbuat banyak ketika pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi memenangi pemilu tahun 1990 yang akhirnya tidak diakui militer. Bahkan, Su Kyi sejak itu malah dijadikan tahanan politik oleh rezim militer Myanmar dan kekuasaan diambilalih militer yang dipimpin Jendral Tan Shwe. "Kalau ASEAN sekarang ingin memainkan peran di Myanmar, maka tidak ada pilihan lain kecuali menggalang dukungan dunia internasional, termasuk PBB, AS, Uni Eropa, dan Jepang. Tentu saja ASEAN harus mendekati Cina dan India karena kedua negara ini memainkan peran penting di Myanmar," katanya. Menurut dia, ASEAN bisa saja menggalang aksi boikot dan embargo pada Myanmar, namun aksi ini dikhawatirkan tidak akan efektif bila tidak diikuti oleh Cina dan India. Ia mengatakan, meski Cina dan India sejauh ini di permukaan tidak menampakkan reaksi keras terhadap junta militer, pihaknya yakin bahwa kedua negara ini melakukan diplomasi diam-diam (quiet diplomacy), sebuah langkah yang lazim ditempuh untuk menghindarkan rasa malu atas negara yang jadi sorotan dunia. "Saya yakin Cina dan India sudah melakukan diplomasi secara diam-diam. Ini dilakukan agar Myanmar merasa tidak dipermalukan di mata dunia internasional," katanya. Ia mengatakan, pemerintah AS juga pernah melakukan hal sama dengan menugaskan mantan Dubes AS di Indonesia, Paul Wolfowitz untuk menemui Pak Harto agar beliau tidak represif terhadap gerakan prodemokrasi kala itu," kata Tri Cahyo. Menurut dia, perjuangan gerakan prodemokrasi Myanmar masih membutuhkan waktu lama dan perlu dukungan lebih luas dari dalam dan dunia internasional, mengingat sejauh ini junta militer Myanmar terlihat masih solid. "Kondisi ini berbeda dengan ketika Presiden Filipina, Ferdinand Marcos didemo rakyatnya yang dalam waktu bersamaan juga muncul dukungan dari kalangan militer. Kekuatan militer yang terpecah ini menambah kekuatan luar biasa bagi gerakan prodemokrasi Filipina," katanya. Mengenai usulan Ketua DPR, Agung Laksono agar ASEAN membekukan keanggotaan Myanmar, Tri Cahyo menilai langkah ini tidak memberi solusi atas masalah yang dihadapi Myanmar saat ini. "Rakyat Myanmar membutuhkan demokrasi. Persoalan apakah Myanmar masih menjadi anggota ASEAN atau sedang dibekukan, itu tidak terlalu penting, setidaknya untuk saat ini," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007