Brisbane (ANTARA News) - Indonesia perlu belajar dari Filipina dan Nigeria mengenai bagaimana mengembalikan harta kekayaan negara yang telah dijarah para koruptor secara signifikan, kata Pengamat masalah korupsi dan antikorupsi, Roby Arya Brata,SH, LLM, MPP. Kedua negara itu dinilai cukup berhasil mengembalikan dengan cukup signifikan harta negara yang sempat dijarah para koruptor dan Indonesia perlu belajar dari mereka, kata dosen tamu bidang HAM dan politik Universitas Sydney serta dosen tamu bidang korupsi dan antikorupsi Universitas Nasional Australia (ANU) itu. "Selain itu kita juga perlu melakukan kerja sama yang efektif dengan negara-negara dan institusi keuangan internasional, misalnya melalui kerangka perjanjian ekstradisi atau `mutual legal assistance`," katanya kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane, Kamis. Hanya saja, kata Roby, tidak mudah menarik kembali harta-harta kekayaan negara yang telah dijarah para koruptor itu karena uang hasil korupsi tersebut dapat dengan mudah dan cepat disimpan, diinvestasikan atau pun ditransfer atas nama orang lain (money laundering). Argumentasi itu didukung oleh kenyataan selama ini. "Dari data yang ada kita tidak bisa berharap banyak dapat mengambil kembali kekayaan negara yang dijarah para koruptor, termasuk yang diduga disembunyikan mantan presiden Soeharto di luar negeri. Dari data Kejaksaan Agung tahun 1971 sampai dengan 1981, kejaksaan hanya mampu mengembalikan uang negara sebesar 29 persen atau sekitar Rp39 miliar dari sekitar Rp137 miliar yang dikorupsi," katanya. Bahkan, data tahun 2001, Kejaksaan Agung RI hanya mampu mengembalikan sekitar 4,8 persen atau sekitar Rp1 triliun dari sekitar Rp 28 triliun yang dikorupsi, kata kandidat doktor bidang kebijakan publik ANU itu. Kenyataan itu menunjukkan betapa sulit hasil kejahatan korupsi itu dilacaknya mengingat dananya dapat dengan mudah dan cepat disimpan, diinvestasikan atau ditransfer atas nama orang lain, katanya. "Hal ini membuktikan lagi bahwa pendekatan represif mahal dan kurang efektif dibandingkan strategi preventif dalam pemberantasan korupsi," katanya. Betapa pun sulitnya, Pemerintah Indonesia dan perangkat hukum negara tidak boleh pesimis karena tetap ada negara yang berhasil, seperti Filipina dan Nigeria. Mengenai gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap Majalah Time yang dimenangkan Mahkamah Agung (MA), Roby mengatakan, alasan hakim agung yang memenangkan gugatan Soeharto dengan menyatakan hakim pada pengadilan negeri dan tinggi salah dalam menerapkan hukum sangat sulit diterima. "Bagaimana mungkin hakim senior pada pengadilan tersebut salah dalam menerapkan hukum dalam kasus pencemaran nama baik (defamation) yang sebenarnya cukup sederhana tersebut? Bila benar mereka salah dalam menerapkan hukum maka kita sungguh prihatin terhadap kualitas hakim kita," katanya. Kemungkinan lain, menurut Roby, boleh jadi adalah kelemahan sistem peradilan nasional yang menganut sistem "inkuisitorial-kontinental" dimana keyakinan subyektif-relatif hakim memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan. "Hal demikian sulit terjadi pada sistem peradilan `advesarial-common law` dimana putusan diambil berdasarkan preseden," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007