Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta akan memasuki era baru pada Minggu, 7 Oktober 2007, saat Fauzi Bowo akan dilantik sebagai orang ke-12 yang memimpin ibukota pasca-proklamasi kemerdekaan RI menggantikan Sutiyoso. Sutiyoso, yang menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 1997-2007, merupakan orang kedua setelah Ali Sadikin yang memimpin Jakarta dalam dua periode berturut-turut selama 10 tahun, bahkan dalam beberapa kesempatan ia sempat berkelakar hanya dirinyalah satu-satunya gubernur di Indonesia yang merasakan masa jabatan lima presiden. Dalam wawancara khusus dengan ANTARA Newsbelum lamai ini, Sutiyoso mengemukakan harapan-harapan dan keinginannya bagi penggantinya, Fauzi Bowo yang akan memimpin Jakarta hingga 2012 nanti bersama Mayjen (Purn) Prijanto. Berikut ini petikan wawancaranya : ANTARA: Dalam sejumlah kesempatan, Anda menyatakan keyakinan bahwa Fauzi Bowo mampu melanjutkan pembangunan Jakarta, apa yang mendasari pemikiran itu? Sutiyoso: Kalau kita lihat mundur, Fauzi Bowo sebelum terpilih menjadi gubernur, sudah menjabat sebagai wakil gubernur selama lima tahun. Sebelumnya, ia pun pernah menjabat sebagai sekretaris daerah, ia meniti karir di Pemprov DKI Jakarta. Secara logika jauh lebih mengerti Jakarta dibandingkan saya. ANTARA: Selama 10 tahun menjabat tentunya ada program yang sudah Anda selesaikan dan masih ada yang belum tercapai. Apakah ada pekerjaan rumah untuk Fauzi Bowo? Sutiyoso: Selama lima tahun terakhir jabatan saya atau 2002-2007, kami menentukan program strategis, yaitu masalah-masalah yang kita yakini sangat penting dan menyangkut masyarakat. Yang pertama, masalah transportasi. Kemacetan harus kita selesaikan, tapi perlu waktu, dana yang besar dan pengorbanan masyarakat. Nanti pada saat Fauzi Bowo menjabat ia tinggal meneruskan. ANTARA: Bagaimana dengan penanggulangan banjir? Sutiyoso: Konsep Belanda adalah mengepung Jakarta dengan kanal, seperti tapal kuda. Kanal Barat sudah disumbang Belanda pada 1933, tetapi dari gubernur ke gubernur belum ada yang membangun Kanal Timur. Memang mahal biayanya, Rp5 triliun, dan akhir tahun ini sudah kita gulirkan dananya untuk membebaskan tanah seluas 23,7 kilometer (km) dengan lebar 100 meter. Tahun depan pada saat Fauzi jadi gubernur tinggal membangun fisik. ANTARA: Permasalahan pengolahan sampah pun menjadi salah satu momok di ibukota, apa yang harus dilakukan gubernur baru nanti? Sutiyoso: Paradigma harus kita ubah, dari "cost oriented" menjadi "profit oriented", jadi "output"-nya bermanfaat. Sayang, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu di Bojong gagal, tapi saya tidak mau berhenti. Karena itu, harus terus dilakukan, kini di Cilincing sudah berjalan tempat pengolahan sampah serupa meski dalam skala lebih kecil, itu harus dilanjutkan dan kemudian ditambah di wilayah lain. ANTARA: Pada beberapa bulan terakhir, Anda juga disibukkan dengan masalah relokasi warga yang tinggal di bawah jembatan tol dan pemukiman kumuh lainnya. Fauzi harus melakukan apa? Sutiyoso: Masalah permukiman kumuh di pinggir kali, suka atau tidak mereka pasti beri kontribusi pada banjir, aliran sungai terhambat karena penyempitan dan pendangkalan, itu harus dinormalkan kembali dan mereka dipindahkan ke rumah susun. Kita sudah mulai dan harus dilanjutkan, pemerintah pusat juga harus ikut membantu. Sutiyoso sejak awal menjabat sebagai orang nomor satu di pemerintahan DKI Jakarta dikenal sebagai sosok pemimpin yang kerap mengambil kebijakan tak populis. Selain gencar menertibkan pedagang kaki lima, memindahkan warga DKI jakarta non-legal yang tinggal di pinggir kali ke rumah susun, ia juga memaksa membangun jalur TransJakarta hingga tujuh koridor saat ini yang kerap menimbulkan kemacetan lalu lintas. Keputusannya itu diakui pria yang gemar menikmati soto tersebut merupakan kebijakan yang harus diambil sebagai pemimpin dalam menertibkan kota. "Tidak bisa kita lambat dalam ambil keputusan, meski kemudian dinilai sebagai sosok pemimpin yang melawan arus dan tidak populer. Di mata saya pemimpin adalah sosok figur yang dikorbankan, tidak bisa hanya berkata nggak usah lah dilakukan daripada ribut," katanya. Meski demikian, ia mengakui tidak pernah mengambil keputusan secara serampangan. Oleh karena itulah, ia meminta mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, khusus menjadi penasehatnya. Sutiyoso, suami dari Setyorini, merasakan bahwa mempelajari dan memahami nafas Ali Sadikin saat mengubah Jakarta dari Kampung Besar menjadi Metropolitan. ANTARA: Apa yang Anda pelajari dan pahami dari Bang Ali? Sutiyoso: Ini memang tradisi saya kalau memimpin, selalu meminta nasehat pada siapa saja yang dianggap mengerti. Bang Ali adalah mantan gubernur yang dianggap berhasil, kenapa saya tidak berguru padanya? Dan, dia menghargai permintaan itu. ANTARA: Biasanya bertanya apa pada Bang Ali? Sutiyoso: Saya ingin tahu apa keinginan atau cita-citanya yang belum terealisir, misalnya Taman Ismail Marzuki itu kan pusat penelitian dan pengembangan budaya Jakarta, kita perbaiki. Pada hal-hal yang penting dan sulit saya selalu minta pertimbangan dia. ANTARA: Bagaimana bila permasalahan yang ada saat ini akibat ekses dari kebijakan gubernur-gubernur yang lalu? Sutiyoso: Saya tidak mau menyalahkan gubernur pendahulu saya. Jangan sampai apa yang saya lakukan seakan-akan tidak memperhatikan apa yang sudah beliau-beliau rintis. Misalnya, Stadion Menteng, saat hendak saya bongkar, minta izin pada Bang Ali. Selalu saya menjaga, agar pendahulu tidak merasa bahwa apa yang sudah dirintis diabaikan. Sebagai seseorang yang dididik dalam keluarga yang disiplin, Sutiyoso selalu menabukan untuk menyalahkan pendahulunya, dimanapun ia menjabat. Istilah "Mikul Dhuwur Mendhem Jero" menjadi pegangannya bila menghadapi senior. "Tabu bagi saya untuk menghadapi masalah yang dibuat oleh pendahulu dengan cara mengatakan bahwa itu ada karena dulu zaman gubernur tertentu," paparnya. Sebagai sosok yang telah mengenal Fauzi Bowo sejak 1997 saat masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata kemudian menjadi Sekda dan pada akhirnya menjadi pendampingnya sejak 2002 hingga 2007, Sutiyoso ingin Fauzi bisa bersikap sebagai gubernur yang "tahan banting" dan menghormati siapa pun. ANTARA: Sikap kepemimpinan apa yang harus ditunjukkan oleh Fauzi Bowo nanti? Sutiyoso: Jadi Gubernur DKI ini harus bisa mengendalikan diri, terutama emosi, karena banyak hal-hal yang membuat kita bisa marah. Saya juga mempelajari juga, dulu melihat pers bisa sakit gigi, sekarang sebaliknya kalau tidak ketemu malah jadi kangen. ANTARA: Bagaimana seharusnya Fauzi memposisikan wartawan? Sutiyoso: Ia harus tahu pemimpin itu sumber berita, wartawan pemburu berita, jadi harus ada kerjasama yang baik, karena dulu saya pernah punya pengalaman bermasalah dengan hal itu. Belajar dari itu, sekarang pertanyaan apa pun sepanjang menyangkut dinas harus dihadapi dan dijelaskan, pertanyaan yang ngawur dan tidak relevan jawablah dengan baik, sehingga bila bertemu wartawan tidak menjadi beban, sepanjang pertanyaan itu relevan. ANTARA: Sikap terhadap orang yang lebih senior? Sutiyoso: Sekali lagi harus mampu kendalikan emosi, dengarkan orang. Jangan abaikan senior-senior kayak saya dan yang lain-lain, mungkin kita dalam pendidikan lebih rendah tapi pengalaman tidak bisa dibeli dan tidak ada bukunya makanya saya menggunakan senior jadi penasehat saya. ANTARA: Dalam seratus hari pertama, sektor mana yang harus menjadi perhatian gubernur selanjutnya? Sutiyoso: Ibukota dengan fungsi yang multidimensi tentu memerlukan rasa aman. Kalau kita bicara soal aman, sebetulnya porsi polisi, ketertiban porsi bersama polisi dengan pemda baru bila ketentraman itu porsi kita. Sebetulnya saat ini kota relatif aman, indikatornya janganlah ketiadaan warga yang dijambret, tapi lihat bila ada perhelatan skala nasional atau internasional, karena di Tokyo pun yang polisinya sudah canggih hal itu tetap ada. ANTARA: Hal lain yang harus menjadi perhatian? Sutiyoso: Yang kedua kebutuhan masyarakat, pangan, terjaga. Kemudian masalah transportasi dilanjutkan. Setelah semua moda ada tidak otomatis macet hilang. Saya ingatkan pada Fauzi kalau sudah 15 koridor busway, ada monorail, ada subway, tetap harus ada pembatasan kendaraan pribadi, semua kota lakukan itu. Waktu 10 tahun dengan rutinitas yang nyaris sama, membuat Sutiyoso sedikit gamang saat harus meninggalkan posisi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bila semula masalah-masalah di ibukota sempat membuatnyakusut", namun kini ia justru tetap merindukan tantangan itu. Tak heran hal itu terjadi, meski kerap dicerca akibat sejumlah kebijakan, tak sedikit pihak yang memujinya dalam kebijakan lainnya. Itulah yang membuat dari semua jabatan yang pernah disandangnya, saat menjadi Gubernur DKI inilah kenangan termanis dalam kehidupannya. ANTARA: Selama 10 tahun menjadi gubernur, hal apa yang paling mengesankan? Sutiyoso: Sebagai gubernur sangat berkesan, karena pernah mengalami masa paling sulit. Saya mengalami lima presiden, itu sudah masalah sendiri, setiap presiden punya kehendak masing-masing. Selain itu harus memimpin dari anggaran hanya Rp1,7 Triliun kini sudah mencapai Rp21 Triliun. ANTARA: Anda juga kerap spontan saat menanggapi permintaan warga yang menghadapi kesulitan, misalkan saat banjir 2002 lalu? Sutiyoso (sambil tertawa): Ya saat itu meninjau pengungsi dan melihat ada yang bajunya basah, kalau saya beri pakaian saya tentunya tidak cukup, badannya lebih besar, kemudian saya tanya apakah mau memakai kaos milik saya, dia menjawab tentunya mau, bahkan tidak akan dicuci. Saya lakukan itu spontan saja, ada yang kedinginan mengapa tidak? ANTARA: Saat dicerca maupun menjadi sorotan sejumlah pihak yang mengkritik Anda, bagaimana peran keluarga, terutama istri? Sutiyoso: Bila menjabat itu dikatakan ada hasilnya, kontribusi dari istri tinggi, dia selalu memberikan dukungan moril, apalagi saat mencalonkan untuk masa jabatan yang kedua 2002. Saat itu ada demo, ada enam pasang calon dan saya tahu ada di antara mereka yang bilang yuk arisan kita rontokkan Sutiyoso. Padahal, saya bilang tidak menang pun tidak apa-apa. ANTARA: Bagaimana reaksi keluarga bila melihat di televisi Anda dijelek-jelekkan? Sutiyoso: Tentunya pernah mereka agak stres juga melihat orang tuanya dibegitukan. Namun, memang dari awal semuanya saya didik untuk siap menghadapi hal itu. Mereka diingatkan bahwa saya teken mati, saya doktrin ke mereka bahwa "tugas di atasnya segalanya". Jadi, tidak ada istilahnya mengantar istri ke pasar atau salon, tapi saat saya susah mereka ikut menanggung risiko, dengan gaya kepemimpinan seperti ini tidak semua orang suka dengan gaya kepemimpinan saya, apalagi yang merasa dirugikan. ANTARA: Bagaimana dengan anak, dengan apa mereka dibekali? Sutiyoso: Saat ini dengan rizki dari Allah SWT sudah cukup. Saya membekali anak dengan pendidikan, saya tantang dia mau sekolah ke manapun saya biayai, itulah modal yang saya berikan. Tentu ini cukup bagi mereka, mereka sudah bekerja, bagi saya justru pengabdian, itulah spirit sebagai prajurit, mengabdi sepanjang kita dikehendaki. Harus jujur, saya tidak bisa menganggur. Kini Sutiyoso mulai memikirkan langkahnya ke masa depan. Atas keyakinan dan dorongan berbagai pihak perlahan tapi pasti, pensiunan jenderal berbintang tiga itu mulai meretas jalan menuju kursi kepresidenan pada pemilihan presiden (pilpres) yang akan berlangsung 2009. Diawali dengan pernyataan kesiapannya untuk maju ke pilpres 2009 saat mengadakan buka puasa di kediaman resmi Gubernur DKI Jakarta di Taman Suropati nomor 7 pada 26 September 2007, kemudian dilanjutkan dengan deklarasi politiknya pada 1 Oktober 2007 untuk mencalonkan sebagai Presiden pada 2009. ANTARA: Bagaimana dengan pencalonan sebagai Presiden? Sutiyoso: Spirit saya adalah pengabdian, apa pun amanah dari rakyat saya lakukan. Di politik, saya melihat realitas yang ada, seberapa banyak dukungan bagi saya, kalau hanya tipis-tipis saja lebih baik tidak karena mempertaruhkan 220 juta orang. Saya tidak ambisius harus R1 atau R2, tapi kalau dipercaya saya sanggup dan mau, tapi sekali lagi melihat realitas yang ada. Bagi pria asal Semarang itu, apa pun jabatan yang dipercayakan padanya akan dianggap sebagai tugas yang harus diemban. Berhasil atau tidak menggapai posisi Presiden atau Wakil Presiden pada 2009, Sutiyoso mengaku tetap ingin bisa berbuat sesuatu untuk orang lain. "Pamong itu tugasnya mengurus orang sejak dari kandungan sampai meninggal. Saya mencintai tugas itu karena tidak ada pemimpin yang berhasil tanpa mencintai tugas yang diberikan padanya," katanya menambahkan. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007