Jakarta (ANTARA News) - Melihat pada layar televisi demonstrasi para bhiksu Myanmar (dulu Burma) disusul tindakan tentara yang menembak, memukuli orang sipil, saya heran orang Burma tega berlaku kejam terhadap sesama bangsa. Sebab sebuah gambaran yang saya bawa dalam benak selama ini orang Burma itu baik, ramah, santun, terbuka, dan bersahabat. Teringat lagi saya pengalaman pada tahun 1954 tatkala Republik Indonesia mengirim misi muhibah untuk pertama kali ke Burma. "Goodwill mission" itu dipimpin oleh Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX terdiri atas anggota parlemen antara lain wakil ketua parlemen Z Abidin Achmad (Masyumi), pejabat tinggi pemerintah seperti Kepala Sekretariat Kabinet Maria Ulfah Santoso, dan tiga wartawan yakni Mochtar Lubis (Pemred Indonesia Raya), saya selaku Pemred Pedoman, dan Dayat Hardjakusuma dari Kantor Berita ANTARA. Burma waktu itu baru enam tahun merdeka. Pada awal kedaulatannya Perdana Menteri Jenderal Aung San (ayah Aung San Suu Kyi) saat memimpin sidang kabinet diasasinasi oleh kelompok oposisi bersenjata yang dipimpin oleh politisi di zaman Jepang Dr U Ba Maw yang jadi Presiden negara boneka Burma bikinan Jepang. Burma punya tempat khusus di kalbu pemimpin RI zaman revolusi sebab berkat bantuannya sejumlah pemuda pejuang Indonesia di Rangoon di bawah pimpinan penerbang Wiweko berhasil membentuk perusahaan Indonesia Airways yang dengan sebuah pesawat bekas Dakota secara reguler mengadakan hubungan penerbangan antara Rangoon dengan Mandalay pada tahun 1949. "Goodwill mission" pimpinan Sultan Yogya ingin menyampaikan terima kasih Indonesia kepada Burma. Waktu itu Dutabesar RI di Burma Dr Sudarsono yang merangkap Dubes RI untuk India, Kuasa Usaha Ali Algadrie, dan Sekretaris Atase Politik Aboe Bakar Loebis. Ketiga diplomat itu pengikut mantan Perdana Menteri Sjahrir (Ketua Partai Sosialis Indonesia). Adapun pemerintah Burma juga dari Partai Sosialis Burma. Presiden Uni Burma seorang dari golongan etnik dari Shan State, tetapi Perdana Menteri U Kyaw Myein dan Menteri Pertahanan U Ba Shwe dari golongan etnik mayoritas bangsa Burma adalah tokoh-tokoh Partai Sosialis. Tatkala tiba di Bandara Rangoon misi disambut oleh diplomat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Aboe Bakar Loebis memberikan kartu tanda pengenal kepada masing-masing delegasi sebab untuk mengikuti protokol pada saat misi mengunjungi Presiden tiap anggota meninggalkan kartu tanda pengenalnya di istana. Malam harinya delegasi dijamu makan di kediaman resmi Perdana Menteri U Kyaw Myein. Kami duduk bersama di halaman belakang di bawah langit terbuka. Laki-laki Burma biasa pakai "lunghi" atau sarung, dengan baju warna polos hitam atau putih. Semua itu membuat suasana santai. Sultan Yogya dan anggota rombongan memakai kemeja lengan panjang tanpa dasi. Kemeja batik ketika itu belum dikenal. Yang banyak bicara U Kyaw Myein. Menteri Pertahanan U Ba Shwe agak pendiam mungkin karena kurang lancar berbahasa Inggris. Juga hadir Panglima Tentara Burma Jenderal Ne Win. Sedikit gambaran tentang Ne Win: dia dan Aung San bersama 30 mahasiswa lain yang disebut Thakin (nama kehormatan seperti Raden di Jawa) secara diam-diam pergi ke Taiwan sebelum Perang Pasifik 1941 untuk mendapat latihan militer dari Dai Nippon. Sekembalinya dari latihan itu mereka membentuk tentara yang tidak mau kerjasama dengan Jepang, juga menentang tentara Inggris bila mau menjajah Burma lagi. Ne Win tinggi semampai, cakap, juga sarungan. Pada malam jamuan itu ia mengundang saya, Mochtar Lubis, dan Dayat Hardjakusuma berkunjung ke markasnya keesokan hari. Markas itu sebuah gedung batu sederhana, tidak ramai dengan orang militer. Kami masuk ke ruang kerja Ne Win yang tidak pula begitu besar. Pertanyaan-pertanyaan kami dijawabnya dengan terus terang mengenai keamanan di dalam negeri, ketegangan dengan golongan etnik minoritas. Ia menunjuk kepada sebuah "velbed" (ranjang) yang terletak di pojok kamar. Di sana Jenderal Ne Win biasa tidur atau beristirahat sejenak. Kami terkesan oleh kesederhanaan Ne Win. Setelah Rangoon, kami mengunjungi kota Mandalay, naik perahu motor di sungai telaga Shan State. Kami pergi ke selatan daerah pertanian lumbung padi Burma. Di mana-mana misi muhibah disambut dengan ramah tamah. Seorang pengantar misi kami ialah Sekjen Kementerian Penerangan U Thant yang kelak menjadi Sekjen PBB pertama yang mewakili Asia. Kami tinggalkan Burma dengan kesan menyenangkan dan sejak itu saya membawa dalam benak saya citra orang Burma sebagai insan yang baik hati dan lembut. Maka bayangkan alangkah terkejutnya saya mendengar Ne Win melakukan kudeta tahun 1962 terhadap pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Sejak itu Burma diperintah dengan "cara sosialis Burma". Ia merupakan suatu "hermit state", negara kaum pertapa, dipencilkan dari dunia luar. U Kyaw Myein, U Ba Shwe, U Nu sirna dari panggung politik. Ne Win jadi diktator selama puluhan tahun. Setelah dia mengundurkan diri pada 1988, junta militer terdiri atas 12 jenderal yang bergabung dalam Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara di bawah Jenderal Saw Maung meneruskan kekuasaan absolut. Sejak 1992 hingga kini junta berada di bawah Jenderal Senior Than Shwe (74), mantan pegawai kantor pos yang pada tahun misi muhibah Indonesia mengunjungi Burma dia baru satu tahun masuk tentara negara itu. Para jenderal yang berkuasa ternyata korup dan tidak peduli pada nasib rakyat. Than Shwe, menurut keterangan seorang Burma yang kini hidup di Indonesia dan sekali-kali "pulang kampung", adalah orang yang berperilaku seperti raja-raja dari zaman kerajaan Burma dahulu. Than Shwe membiarkan keluarganya hidup serba mewah di tengah rakyat yang miskin. Tentara Burma berjumlah sekitar 450 ribu orang tetapi menguasai kehidupan sekitar 48,7 juta (perkiraan Juli 2007) rakyat Burma. Mengapa tentara Burma bisa begitu kejam dan menindas?.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007