Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, Peraturan Presiden (Perpres) tentang pengendalian dan pengawasan ketersediaan obat akan mengatur mekanisme pengadaan obat di daerah dan impor bahan baku obat. "Akan ada dua Perpres tentang itu," kata Menteri Kesehatan usai melakukan rapat dengan Komisi IX DPR RI di gedung MPR/DPR Jakarta, Senin. Perpres yang pertama, ia melanjutkan, mengatur tentang penunjukan langsung pembelian obat-obatan yang sudah diatur oleh Menteri Kesehatan seperti obat esensial, obat generik dan obat program. "Keberadaan Prepres itu akan memungkinkan pemerintah daerah melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan obat," katanya. Ia menambahkan, Perpres tersebut merupakan koreksi terhadap Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sementara Perpres yang kedua, ia melanjutkan, mengatur tentang mekanisme impor obat dan bahan baku obat. Pengaturan itu, menurut dia, dibuat supaya pemerintah bisa melakukan tindakan khusus jika produsen obat karena satu dan lain hal tidak dapat memenuhi kebutuhan obat atau bahan baku obat esensial. "Misalnya, jika ada obat yang langka karena perusahaan tidak bisa memroduksi, maka kita punya kebijakan untuk mengantisipasinya," katanya. Lebih lanjut Siti Fadilah menjelaskan, kedua Perpres tersebut diterbitkan untuk mengamankan ketersediaan obat bagi masyarakat dan menjamin keterjangkauan obat oleh masyarakat. Dengan adanya Perpres ini maka ada kebijakan pengamanan untuk mengatasi masalah yang timbul bila terjadi kelangkaan obat, katanya. "Aturan ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat. Secepatnya akan dikeluarkan, sekarang drafnya sudah ada di Seskab," tambahnya. Menteri Kesehatan menjelaskan pula bahwa saat ini sebanyak 47 item obat tidak lagi diproduksi oleh produsen farmasi karena margin keuntungannya dianggap sangat tipis. "Di enam provinsi obat agak langka dan ada tujuh rumah sakit yang dilaporkan tidak memunyai stok obat cukup. Itu terjadi karena perusahaan dan BUMN tidak mau memroduksi obat generik lagi, sebab untungnya dianggap sedikit," katanya. Namun demikian Siti Fadilah tidak menyebutkan secara rinci nama-nama provinsi dan rumah sakit yang dimaksud. Menteri Kesehatan menjelaskan, dua Perpres yang rencananya dikeluarkan dalam waktu dekat itu tidak akan berdampak buruk terhadap perkembangan industri farmasi di Tanah Air. "Bagi industri farmasi, implikasinya adalah persaingan bebas. Justru ini membantu mereka mempersiapkan diri menghadapi perdagangan bebas," katanya. Kebijakan itu, menurut dia, juga secara otomatis akan berdampak terhadap harga obat yang hingga saat ini tergolong tinggi. "Di rumah sakit harga obat bisa 21 kali lipat dari rata-rata harga internasional. Kalau ada persaingan bebas otomatis harganya bisa lebih rasional," katanya. Ia menambahkan, kebijakan itu tidak hanya dikeluarkan untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap obat namun juga untuk mendorong pertumbuhan industri farmasi. "Industri farmasi didorong untuk tumbuh, tetapi tidak dengan menginjak kepentingan rakyat," demikian Menteri Kesehatan.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007