Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) dan Departemen Keuangan (Depkeu) telah menyepakati besaran yang diterima negara dari biaya perkara perdata yang ditarik MA. Hakim Agung Atja Sonjaya yang mewakili MA berunding dengan Depkeu, di Gedung MA, Jakarta, Selasa, mengatakan MA telah bertemu tiga kali dengan Depkeu sebelum menyepakati besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari biaya perkara. PNBP dari Besaran biaya perkara itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang dibahas bersama oleh MA dan Depkeu dan segera diserahkan ke Sekretariat Negara dalam waktu dekat. "Besarannya sudah disepakati bersama oleh MA dan Depkeu meski masih bisa saja berubah saat di Setneg," ujarnya. Besaran PNBP dari biaya perkara itu, menurut Atja, mengacu pada PP No 26 Tahun 1999 tentang besaran PNBP di lingkungan Departemen Kehakiman, yang telah dicabut. Atja mengatakan, pihak Depkeu menetapkan besaran yang disesuaikan dengan kondisi sekarang. "Pos-pos PNBPnya juga masih mengacu kepada PP yang lama," ujarnya. RPP yang disepakati bersama oleh MA dan Depkeu itu mengatur besarnya PNBP dari biaya perkara yang ditarik mulai dari tingkat pengadilan hingga MA. "Ongkos perkara itu ada dua, hak kepaniteraan dan proses penyelesaian perkara. Hak kepaniteraan itu yang sekarang disebut PNBP," jelasnya. RPP itu mengatur, di antaranya PNBP yang disetor MA dari pendaftaran kasasi sebesar Rp150 ribu, peninjauan kembali Rp200 ribu, uji materiil Rp50 ribu, dan perkara sengketa Pilkada Rp50 ribu. MA menetapkan biaya perkara untuk kasasi perdata umum Rp500.000 yang berlaku sejak 1 April 2002. Biaya perkara perdata dan TUN untuk tingkat PK ditetapkan melalui SK No KMA/042/SK/VIII/2002 yang ditandatangani Bagir Manan 20 Agustus 2001. SK itu menaikkan biaya perkara dari Rp500.000 menjadi Rp2,5 juta untuk permohonan PK perdata umum, perdata agama, dan TUN yang mulai berlaku pada 1 September 2001. Sedangkan biaya untuk perkara perdata niaga ditetapkan Rp5 juta. RPP yang dirumuskan oleh MA dan Depkeu juga mengatur PNBP dari pendaftaran banding di pengadilan Rp50 ribu, dan untuk gugatan berperkara Rp30 ribu. RPP itu juga mengatur besarnya PNBP dari perkara niaga yang nilainya tergantung pada jumlah utang yang diperkarakan. Untuk utang di bawah Rp40 miliar, PNBP yang ditarik Rp1 juta, utang Rp40 miliar hingga Rp50 miliar Rp2 juta, utang Rp50 miliar hingga Rp200 miliar Rp3 juta, utang Rp250 miliar hingga Rp500 miliar Rp4 juta dan utang di atas Rp500 miliar Rp6 juta. RPP itu juga mengatur PNBP dari pendaftaran banding dan gugatan berperkara di pengadilan agama sebesar Rp50 miliar. Jumlah yang sama diterapkan untuk PNBP yang ditarik dari pendaftaran banding di Pengadilan Tata Usaha Negara. PNBP yang ditarik dari berbagai kegiatan pengadilan juga diatur dalam RPP itu. Di antaranya untuk pelaksanaan eksekusi dan lelang atas putusan pengadilan. Atja mengatakan, ia telah menyampaikan kepada Depkeu bahwa besarnya biaya perkara sesuai dengan kitab hukum acara perdata ditetapkan oleh setiap ketua pengadilan negeri sesuai dengan kondisi yang berlaku di masing-masing daerah. "Jadi, tidak mungkin diterapkan standar yang sama di PN," ujarnya. Penyusunan RPP yang mengatur besaran PNBP dari biaya perkara adalah hasil dari pertemuan segitiga antara Ketua MA Bagir Manan, Ketua BPK Anwar Nasution, dan Presiden pada September 2006. Sementara itu, Ketua Komisi III Trimedya Pandjaitan, usai rapat konsultasi dengan MA di Gedung MA, Jakarta, Selasa, mengatakan aturan soal biaya perkara akan dimasukkan dalam UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman guna memperkuat dasar hukumnya. Ia mengatakan, PP hanyalah dasar hukum sementara sampai UU Kekuasaan Kehakiman yang baru selesai disusun oleh DPR. "Jadi, setelah ada UUnya, PP itu tidak berlaku lagi," ujarnya. Berbeda dengan konsep PNBP yang dirumuskan bersama oleh MA dan Depkeu, Trimedya berpendapat, yang dapat ditarik oleh negara dalam bentuk PNBP seharusnya adalah persentase tertentu dari sisa biaya perkara yang tidak terpakai. "Itu lazim diterapkan di direktorat lalu lintas. Setelah dipotong oleh MA, maka seharusnya sekian persen tertentu dapat diambil menjadi PNBP," ujarnya. Selama ini MA selalu mengatakan, uang perkara di tingkat kasasi habis terpakai untuk biaya administrasi, meterai dan leges. Sedangkan sisa biaya perkara di pengadilan seharusnya dapat diambil lagi oleh pihak berperkara. Namun, pada praktiknya, jarang pihak berperkara yang mengambil kembali sisa uang perkara tersebut.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007