Tokyo (ANTARA News) - Jepang Selasa membatalkan bantuan sekitar lima juta dolar bagi Myanmar sebagai langkah pertama mengecam tindakan kekerasan junta terhadap serangkaian demonstrasi yang menewaskan sejumlah warga sipil termasuk seorang wartawan Jepang. Namun Jepang tidak menyebutkan apakah akan menghentikan semua bantuan bagi Myanmar sehingga mengakibatkan posisi Jepang berseberangan dengan para sekutunya di Barat yang telah menuntut tindakan global untuk mengisolir rejim militer. Menteri Luar Negeri Masahiko Komura mengatakan Jepang menunda hibah hingga 552 juta yen (4.7 juta dolar), atau sekitar 18 persen dari total hibah dan bantuan teknis yang diberikan Tokyo kepada Myanmar tahun lalu. "Pemerintah Jepang perlu menunjukkan sikap kita. Kami tidak bisa mengambil tindakan yang secara efektif akan mendukung rejim militer pada saat ini," kata Komura kepada wartawan seperti dikutip AFP. Jepang, yang jarang berbeda pendapat dengan AS dan Uni Eropa, telah menjadi salah satu negara donor terbesar bagi Myanmar, meski sejak 2003 Tokyo telah mengatakan hanya memberi bantuan kemanusian bagi Myanmar. Para pejabat Jepang sebelumnya menyatakan peringatan soal hukuman bagi Myanmar, dengan mengkhawatirkan tindakan itu akan semakin mendorong junta ke tangan China yang memiliki hubungan ekonomi dan politik secara erat dengan rejim militer Myanmar. Jepang dan China telah berlomba-lomba meningkatkan pengaruh mereka di luar negeri, terutama di Asia Tenggara. Hibah yang dibatalkan itu semula direncanakan untuk membiayai pembangunan pusat sumber daya di Myanmar, yang merupakan satu-satunya proyek hibah konkrit yang telah ditandatangani Jepang dengan pemerintah Myanmar. Hingga kini belum jelas apakah Jepang akan menghentikan bantuan untuk proyek-proyek mendatang di Myanmar. "Kami melihat akan ada beberapa permintaan pada masa mendatang. Kami akan melakukan penilaian bagi setiap kasus dengan melihat situasi pada saat itu," kata seorang pejabat pemerintah yang menolak disebutkan namanya. Para biksu Budha memimpin demonstrasi bulan lalu, yang merupakan tantangan terbesar bagi junta dalam waktu hampir 20 tahun. Para tentara dan polisi huru hara menggunakan kekuatan untuk mengakhiri demonstrasi tersebut, sehingga menewaskan sedikitnya 13 orang. Korban meninggal termasuk Kenji Nagai, wartawan video untuk APF News yang berkedudukan di Tokyo, yang tewas pada September 27 saat ia mengambil gambar tentang kekerasan di pusat bisnis di Yangon. Tayangan televisi menunjukkan ia kelihatannya ditembak dari jarak dekat oleh pasukan keamanan. Harian milik pemerintah New Light of Myanmar mengatakan kematian Nagai merupakan kecelakaan namun mengeluhkan Nagai "secara tidak jujur" memasuki negara itu dengan visa wisata. "Ia menemui ajalnya akibat bersama dengan para demonstran pada tempat dan waktu yang tidak tepat," kata media itu sambil menambahkan Myanmar memiliki sikap "murah hati" terhadap Jepang. Jepang pernah menduduki Myanmar yang dulunya dikenal sebagai Burma pada Perang Dunia II namun secara hati-hati menjaga jarak dengan negara-negara Barat, termasuk bekas penjajah Inggris, yang menuntut tindakan tegas terhadap rejim. Pada 2003 Jepang menangguhkan pinjaman dengan bunga rendah untuk proyek infrastruktur di Myanmar sebagai protes terhadap terus ditahannya pemenang hadiah Nobel dan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi. Namun Jepang meneruskan apa yang ia sebut sebagai bantuan kemanusiaan. Total hibah Jepang kepada Myanmar mencapai 1,353 milyar yen pada tahun fiskal hingga Maret 2007. Jumlah bantuan mencapai tiga milyar yen termasuk bantuan teknis, seperti pengiriman insinyur.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007