Oleh Bob Widyahartono MA *) Jakarta (ANTARA News) - Konsep aliansi bisnis telah tumbuh dengan suburnya dalam tahun-tahun belakangan ini. Aliansi menjadi suatu bentuk untuk usaha bersama (joint ventures), investasi bersama (joint investment), konsorsium antar-unit perusahaan dengan spesialisasi masing-masing, integrasi ke belakang/ke depan (backward/forward integration) dan berbagai nuansa bentuk. Aliansi bukan merjer atau akuisisi (pencaplokan yang kecil oleh yang besar). Pengaturan beraliansi bukan suatu kerjasama sekali jalan (one-time deal), seperti merger atau akuisisi. Ia berprroses untuk suatu jangka waktu tertentu. Hal inilah yang selama ini semakin berkembang dalam aliansi bisnis regional di kawasan Asia Timur. Oleh karena itu, untuk mencapai sukses dalam aliansi, apalagi secara regional, seperti di kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), diperlukan peranan kepemimpinan yang berkesinambungan secara profesional yang disebut "kepemimpinan dengan visi" (visionary leadership). Kepemimpinan yang diperlukan adalah senantiasa memiliki "kemauan dan kemampuan belajar (learning ability), berorientasi dalam menyelenggarakan visi, dan enersi psikologis". Aliansi dalam jaringan kerja produksi ASEAN dengan berbagai niat rintisan dalam rangka Pasar Bersama/Tunggal ASEAN juga memerlukan kepemimpinan yang unik kualifikasinya. Untuk menggerakkan aliansi dan proyek proyek kerjasama/aliansi, maka tekad bersama dengan suatu visi dan tujuan yang mantap perlu digagas dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang dipilih dari organisasi-organisasi yang beraliansi. Ia harus sadar akan alasan membangun aliansi dalam arti "hubungan interrelasi" (relationship) yang dilekati dengan suatu visi dasar baru strategik untuk mendayung aliansi. Selain itu, ia harus mengembangkan visi bersama (shared vision) dengan komitmen yang tidak hanya sekali jalan (not a one time deal or step). Lalu, visi yang sejak awal harus meresap dalam kepimpinan dan manajemen aliansi, terutama manajemen menengahnya, yang diperbarui dan diapresiasi termasuk dalam balas jasa yang sesuai kapabilitas dan kredibilitas. Pertama, kemampuan menyerap pengetahuan baru yang diperlukan untuk organisasi baru. Dalam kaitan dengan keunggulan organisasi yang baru, maka suatu mekanisme pembelajaran yang built-in perlu terus tumbuh untuk menyadari dan belajar dari kegagalan awal demi langkah berikutnya menggapai sukses. Oleh karena itu pula, maka tugas pertama pemimpin dengan dukungan manajemen, terutama menengah, harus menjelaskan kepada karyawan aliansi bisnis mengenai apa yang dimaksud dengan "visi yang gamblang" (well defined vision), dan maksud adanya inter-relasi dalam organisasi secara vertikal, atau lintas fungsional. Kedua, visi yang jelas (clear vision) menciptakan adanya orientasi. Bayangkan tanpa adanya visi, maka kalau kelompok-kelompok yang berbeda hidup bersama (co-exist) dan melakukan interaksi dalam suatu sistem organisasi yang lebih besar, maka bisa saja muncul ketegangan dan saling menghambat dan saling menyudutkan. Oleh karenanya, organisasi aliansi dengan suatu visi bersama yang jelas (clear shared vision) yang diyakini oleh semua karyawan dari yang paling rendah sampai yang puncak, akan mampu menggelindingkan orientasi yang konstruktif dan menjadi sumber-sumber enersi negatif menjadi positif. Inovasi muncul dalam proses demikian itu. Ketiga, digerakkannya enersi psikologis dalam arti setiap anggota/karyawan menyadari makna visi bersama yang mengaktifkan enersi dalam diri masing-masing. Di sini setiap kali pimpinan dengan dukungan manajemen, terutama menengah, menantang (challenge) dengan bertanya "apa bedanya visi dan fantasi?" Visi secara tegas menyajikan peta jalan (road map) yang harus diyakini dan dilakoni. Sementara itu, fantasi merupakan mimpi yang membuat kabur kesadaran diri dan enersi dari dalam untuk diwujudkan. Ciri yang penting dari aliansi bisnis adalah bahwa manajemen harus berani keluar dari batasan-batasan diskripsi tugas dan wewenang yang sebelumnya sudah membaku dalam dirinya. Dalam aliansi, maka bisnis tidak akan mampu melaju hanya dengan menyandarkan diri pada kemajuan teknologi proses maupun Teknologi Informasi (TI). Dalam aliansi akan terjadi kekakuan bergerak ke keluwesan bervisi dan orientasi. Dengan kesadaran manfaatnya inovasi yang bukan hasil "langsung jadi" (quick fix) dalam suatu jangka waktu yang ketat, maka lahirlah jiwa kewirausahaan (entrpreneurial spirit). Berkembangnya bisnis, TI dan produk-produk baru oleh berbagai aliansi bisnis mendorong jiwa kewirausahaan. Jiwa hal itu tidak hanya dengan belajar dari luar organisasi, tetapi justru muncul dari yang disebut "intra-preneurship" dengan menyerap sumber daya dari luar organisasi, dengan mengukur kemampuan dan kesanggupan profesional organisasi. Menggali sumber luar juga dikenal sebagai kesadaran "inter-preneurship". Dari uraian di atas, maka singkatnya adalah hal yang diperlukan dalam beraliansi bisnis baru adalah kepemimpinan yang mumpuni, dengan sensivitas etik, fleksibel dan dinamis tanpa kehilangan visi. (*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat studi pembangunan Asia Timur, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007