Yangon (ANTARA News) - Pemerintahan militer Myanmar kembali berada dalam tekanan, Sabtu, menyusul Amerika Serikat (AS) yang mengumumkan sanksi putaran baru setelah terjadinya penumpasan berdarah terhadap para penentang pemerintah di Yangon. Sanksi baru dari Presiden AS, George W Bush, Jumat malam, ditujukan kepada para pemimpin militer dan AS juga menyeru kepada China dan India, negara tetangga dan sekutu utama Myanmar, untuk meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Myanmar. Pengetatan sanksi itu merupakan kedua kalinya bagi AS dalam empat pekan terakhir menyusul terjadinya penumpasan unjuk rasa di Yangon oleh pemerintah Myanmar. Media pemerintah di Yangon belum mengemukakan tanggapan atas sanksi terbaru AS tersebut, dan hal serupa juga dilakukan pemimpin oposisi yang ditahan, Aung San Suu Kyi, yang juga ketua partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Namun, seorang diplomat di Yangon menyatakan skeptisme tentang dampak sanksi terbaru AS, yang dirancang untuk mendesak junta mengakhiri penindasan terhadap para aktivis pro-demokrasi. "Para pemimpin junta mungkin merasa tegang karena AS sangat cepat meningkatkan tekanan," kata diplomat yang minta namanya ditulis itu. "Tetapi, dampak sanksi terbaru AS itu terbatas. Saya pikir para pemimpin Myanmar tidak lagi punya banyak aset di Amerika Serikat," katanya. Pemerintah militer itu telah berada di bawah tekanan internasional karena menggunakan kekerasan untuk membubarkan unjuk rasa damai yang dipimpin para biksu Budha di Yangon pada 26 September. Penumpasan itu membunuh sedikit-dikitnya 13 orang dan menahan kira-kira tiga ribu orang. Akibat kekerasan itu, AS memerintahkan pembekuan aset 14 pejabat tinggi Myanmar, termasuk pemimpin junta, Jenderal Than Shwe. Pada Jumat, Washington makin memperketat sanksi dengan menambahkan 11 lagi pemimpin junta, di antaranya adalah 10 menteri, ke daftar pejabat yang asetnya di AS dibekukan. Unjuk rasa anti-junta dimulai pada Agustus akibat kenaikan besar-besaran harga BBM, dan selanjutnya berkembang menjadi protes terbesar selama hampir dua dasawarsa terhadap rezim tersebut, demikian AFP.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007