Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai Indonesia sudah perlu membentuk Undang-Undang Antihoax untuk mengantisipasi ancaman yang timbul akibat maraknya penyebaran kabar bohong.

Ia berpandangan persebaran hoaks atau kabar bohong saat ini kian berkembang dan meningkat serta dilakukan dengan cara-cara yang semakin variatif, sehingga tidak cukup ditangani dengan UU ITE.

"Kalau dulu, sebaran hoaks itu mengutamakan ke media sosial, sekarang lebih melebar, meluas. Bagaimana kalau hoaks itu disebar tidak melalui media elektronik, bisa tidak dijerat dengan UU ITE?," kata Karyono dalam diskusi "Implikasi dan Konsekuensi Kampanye Menggunakan Hoaks dalam Pemilu 2019" yang digelar di Jakarta, Sabtu.

Cek fakta: Joko Widodo ungkap penyebaran hoaks sudah dari pintu ke pintu

Menurut dia, saat ini kabar bohong mulai kerap disebarkan melalui brosur. Bahkan, ada pula yang disampaikan secara langsung.

Karyono mencontohkan kasus kampanye hitam yang belum lama terjadi dan melibatkan sejumlah ibu-ibu di Karawang, Jawa Barat, serta seorang ustadz di Banyuwangi, Jawa Timur.

"Pada kasus itu, (hoaks) disampaikan secara langsung, 'door to door'," terang dia.

Cek fakta: Bawaslu antisipasi hoaks pada masa tenang

Menurut Karyono, selain diproduksi untuk kepentingan politik, hoaks di Indonesia juga dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggungjawab untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi.

"Pembuatan hoaks itu ada industrinya. Sudah sistematis, jadi bahaya. Sekarang, kita perlu cegah jangan sampai konsumsi berita bohong menjadi budaya masyarakat, karena nanti jadi darurat hoaks. Menurut saya, lebih baik dibuat undang-undang tersendiri, UU Antihoaks," ungkap Karyono.

***2***








 

Pewarta: Tim Jacx
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2019