Permintaan kain tenun Badui dari beberapa negara, seperti Vietnam, Jepang dan Korea Selatan cenderung meningkat, ini bukti kalau kain itu semakin terkenal dan diakui kualitasnya
Lebak (ANTARA) - Kain tenun yang diproduksi secara tradisional oleh warga Suku Badui yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, telah dikenal tidak hanya oleh masyarakat lokal atau nasional tapi juga mancanegara.

"Permintaan kain tenun Badui dari beberapa negara, seperti Vietnam, Jepang dan Korea Selatan cenderung meningkat. Ini bukti kalau kain itu semakin terkenal dan diakui kualitasnya," kata Kepala Seksi Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Lebak, Sutisna pekan lalu.

Beberapa negara Eropa, seperti Inggris, Rusia, Italia dan Jerman juga mulai melirik tenun yang diproduksi oleh warga yang sampai sekarang masih mempertahankan cara hidup tradisional dan menolak modernisasi itu.

Pembuatan kain tenun dilakukan oleh perempuan Suku Badui. Mereka menenun di rumah sambil menunggu suaminya datang dari ladang.

Saat ini, perajin kain tenun Badui mencapai 600 orang. Semua proses pembuatan kain dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat sederhana. Tidak ada sentuhan teknologi modern dalam pengerjaannya.

Keunggulan tenun Badui memiliki corak warna dan motif berbeda, diantaranya poleng hideung, poleng paul, mursadam, pepetikan, kacang herang, maghrib, capit hurang, susuatan, suat songket dan smata (girid manggu, kembang gedang, kembang saka).

Selain itu juga motif adu mancung, serta motif aros yang terdiri dari aros awi gede, kembang saka, kembang cikur, dan aros anggeus.

"Saya kira perbedaan warna dan motif itu yang memiliki keunggulan sehingga menembus pasar mancanegara," katanya menjelaskan.

Ketua UKM Daarul Qoriin Baraya, Endoh Mahfudoh mengatakan selama ini produk kain tenun masyarakat Badui ternyata diminati warga Vietnam.

Tingginya permintaan pasar di negara Vietnam setelah mengisi kegiatan pameran melalui promosi yang dilakukan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Provinsi Banten. "Kami hampir setiap pekan memasok kain tenun Badui ke pasar Vietnam itu," katanya.

Guna meningkatkan kualitas dan promosi, Pemkab Lebak kerap mengikutsertakan perajin kain dari Suku Badui dalam berbagai kegiatan, diantaranya kegiatan tematik yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten belum lama ini.

Dua perempuan perajin kain Badui, yakni Itoh dan Mae yang diikutkan dalam acara yang digelar di Geung Museum Multatuli Rangkasbitung Lebak itu.

"Kami senang bisa mengikuti pameran ke luar daerah (luar wilayah Badui) dan itu kali pertama," kata Mae, seorang perajin Badui warga Kaduketug Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang ikut dalam kegiatan tematik itu.

Mae mengaku langsung mempraktikan pembuatan kain pada kegiatan itu. Dengan alat manual dia merangkai benang sehelai demi sehelai sehingga menjadi kain.

"Banyak yang liat waktu itu, senang juga bisa diikutkan. Mudah-mudahan nanti bisa diikutkan lagi," ujarnya sambil tersenyum.

Ia menjelaskan, saat kegiatan tematik membuat kain dengan ukuran 3x2 meter persegi butuh waktu sepekan yang kemudian dijual dengan harga Rp500 ribu/lembar.


Kewalahan

Tingginya permintaan kain tenun Suku Badui, terutama dari wisatawan, membuat para pengrajin kewalahan memenuhi permintaan itu.

"Tingginya permintaan kain tenun itu, karena ukurannya cukup panjang," kata Rasti (40) seorang perajin Badui di Kadu Ketug Desa Kanakes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.

Produk kain terpanjang itu merupakan produk inovasi para perajin Baduy agar konsumen cukup tertarik.

Umumnya, kata dia, kain tenun itu hanya tiga meter dan wisatawan domestik maupun mancanegara membeli dengan jumlah banyak, karena cukup unik.

Para wisatawan membeli kain tenun Baduy untuk dijadikan kenang-kenangan dengan alasan tradisional juga memiliki nilai seni.

Sementara, benang bahan baku kain tenunan didatangkan dari Majalaya Bandung, Jawa Barat.

Kerajinan kain tenun terpanjang di dunia itu dikerjakan kaum perempuan dengan peralatan secara manual.

Para perajin memproduksi kain tenun sepanjang delapan 8 dan lebar 2 meter cukup rumit, sehingga dibutuhkan kosentrasi dan keuletan.

Pekerjaan memproduksi kain panjang itu selama 15 hari dan dikerjakan tenaga manual dan tradisional. "Kami jual kain tenun terpanjang itu seharga Rp900 ribu," katanya menjelaskan.

Munah (45) seorang perajin warga Baduy mengaku selama ini kain tenun panjang itu banyak diminati wisatawan domestik dari luar daerah. Setiap hari mereka datang ke perkampungan Badui.

Ada pun harga kain tenun terpanjang itu bervariasi mulai Rp700 ribu sampai Rp1,5 juta dan tergantung kualitasnya. "Saya kira banyak wisatawan semakin mencintai produk Badui karena memiliki keunikan itu," katanya.

Apalagi, saat ini kain tenun Badui mulai ramai digunakan kalangan remaja putra dan putri karena corak dan warna sangat alami. Selain itu juga kain tenun kerapkali para desainer disertakan lomba fasyen atau model, baik tingkat nasional maupun dunia.

Kain tenun Badui lagi trend di kalangan remaja untuk pakaian model, pakaian formal, celana dan selendang."Kami terus meningkatkan kualitas kain tenun juga pewarna menggunakan bahan baku alami dari dedaunan," katanya.

Kain tenun Badui diproduksi secara manual dan tradisional, dan agaknya itu yang  menjadikannya bernilai jual yang tidak kalah dengan kain produksi pabrikan.*


Baca juga: Kerajinan tenun Badui tumbuhkan ekonomi masyarakat lokal

 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019