Bogor (ANTARA News) - Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meminta negara maju menyediakan sumberdaya, teknologi, dan dukungan dana untuk negara-negara berkembang guna mengatasi dampak perubahan iklim dinilai pegiat lingkungan hidup terminologinya kurang pas. "Kalau dalam kalimatnya tersurat soal nilai bantuan, saya agak sedih. Mestinya, yang lebih tepat adalah sebuah tuntutan, sebuah keharusan bagi negara maju untuk bertanggungjawab, karena merekalah penyumbang terbesar pembuangan emisi gas sehingga muncul kondisi pemanasan global saat ini," kata Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Taufiq Alimi di Bogor, Rabu. LEI adalah lembaga independen yang mengembangkan sistem sertifikasi hutan lestari di Indonesia. Hal itu dikemukakan saat diwawancarai ANTARA News sehubungan dengan pernyataan Presiden Yudhoyono, saat membuka pertemuan informal tingkat menteri untuk persiapan Konferensi Internasional Pencegahan Perubahan Iklim di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu. Dalam kesempatan itu, Kepala Negara mengharapkan agar negara-negara maju terus memimpin upaya dunia melakukan langkah bersama dalam mengantisipasi dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global. "Mengingat negara-negara maju sudah melakukan hal yang lebih cepat adalah logis negara maju seharusnya melanjutkan untuk berada di depan dalam mengurangi emisi karbon secara signifikan," kata Presiden. Menurut Presiden, negara maju bisa meneruskan langkah itu dengan memindahkan sistem sosial dan ekonomi yang mereka jalankan menjadi komunitas yang rendah karbon. "Saya menghargai beberapa negara berekonomi maju telah melakukannya dengan mengurangi emisi, tanpa menunggu adanya persetujuan global," katanya. Negara maju juga diminta menyediakan sumber daya, teknologi, dan dukungan dana untuk negara-negara berkembang guna mengatasi dampak perubahan iklim. Untuk itu diharapkan setelah selesainya Protokol Kyoto pada tahun 2012, harus ada komitmen yang lebih kuat dari negara-negara maju untuk mengurangi emisi mereka. "Kekuatan-kekuatan ekonomi dunia harus menunjukkan komitmennya saat ini dan masa depan," tambahnya di hadapan sekitar 35 menteri lingkungan hidup dari berbagai negara itu. Menurut Taufiq Alimi, kalau melihat komentar secara umum yang disampaikan Presiden Yudhoyono --khususnya tentang pendanaan--mestinya tidak disampaikan dalam kalimat tersurat. "Saya agak sedih karena posisi yang diambil SBY membuat seolah-olah negara berkembang, termasuk Indonesia di bawah negara lain," katanya. "Padahal, semestinya yang ditekankan adalah keharusan negara maju, dalam konteks bertanggung jawab, dan bukan memberi," tambahnya. Ditegaskannya bahwa seharusnya pemerintah dan negara yang potensial jadi korban --yang umumnya negara agraris dan berada dalam kelompok negara dunia ketiga--mengatakan kepada negara maju bahwa mereka harus bertangungjawab, karena negara majulah penyumbang terbesar atas perubahan iklim itu. "Karena itu, konteksnya sekali lagi adalah keharusan bertanggungjawab, dan negara berkembang tidak memintanya karena (tanggungjawab negara maju) itu adalah keniscayaan," katanya. Negara berkembang Sementara itu, saat berbicara mengenai posisi bagi negara berkembang, Presiden Yudhoyono mengharapkan adanya partisipasi aktif secara sukarela untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai keadaan negaranya. "Negara-negara berkembang sudah melakukan upaya menurunkan emisi tapi harus ditingkatkan lagi untuk menurunkan emisi tersebut. Mereka harus melakukan strategi yang inovatif dan maju untuk pencegahan dan adaptasi tersebut," katanya. Negara berkembang juga didorong untuk dapat membangun mekanisme kebijakan fiskal serta peraturan yang berorientasi pasar dan dapat mengurangi biaya mitigasi dan adaptasi dalam pencegahan dampak perubahan iklim yang dapat membantu mengundang investasi. "Tentu saja, langkah pencegahan dan adaptasi tidak dapat berjalan tanpa teknologi yang memadai. Amat disayangkan teknologi tersebut tidak digunakan dengan efektif saat ini, maka komunitas internasional harus menekankan agar negara berkembang menggunakan teknologi ramah lingkungan pada masa depan," katanya. Presiden mengharapkan, pertemuan di Bogor ini dapat mendukung keberhasilan dari konferensi internasional yang akan dilakukan di Bali pada awal Desember mendatang, sehingga bisa menjadi titik awal dalam rangka aksi nyata mengatasi dampak perubahan iklim. Pertemuan di Istana Bogor itu akan berlangsung hingga Kamis (25/10). Kegiatan itu merupakan persiapan Konferensi ke-13 Negara Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) di Bali akhir tahun ini, yang antara lain membahas persoalan pemanasan global dan efek rumah kaca.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007