Bogor (ANTARA News) - Penggunaan energi nuklir, tanaman hasil rekayasa genetik, tangkapan dan penyimpanan karbon, serta bahan bakar nabati (biofuel), bukan merupakan solusi mengatasi pemanasan global. Opsi-opsi tersebut justru akan membahayakan bagi lingkungan dan tidak menguntungkan bagi warga miskin, demikian pernyataan koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia yang diperoleh ANTARA di Bogor, Kamis. Pernyataan tersebut merupakan sikap koalisi LSM di Indonesia yang dikemukakan dalam pertemuan informal tingkat menteri mengenai perubahan iklim yang digelar di Istana Bogor pada 24-25 Oktober. Koalisi LSM tersebut antara lain terdiri dari Walhi, Yayasan Kehati, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Sawit Watch, Forest Watch Indonesia, WWF, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Greenpeace Southeast Asia. Dalam pernyataan yang dibacakan oleh Farah Sofa dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dalam pertemuan internasional tingkat menteri tersebut, Rabu (24/10), dikatakan, Indonesia adalah contoh negara yang telah dan akan menjadi korban perubahan iklim. Indonesia, kata dia, dituduh telah merusak hutan yang sangat bernilai bagi komunitas dunia. Di lain pihak, Indonesia juga dilihat sebagai sumber jangka panjang bahan baku industri dunia. Banyak negara berkembang lain juga menghadapi situasi serupa. Untuk mengantisipasi perubahan iklim dan membantu negara berkembang mengatasi dampaknya, negara-negara maju yang mempunyai tanggungjawab historis terbesar dan hingga saat ini masih menjadi penyumbang emisi gas rumahkaca harus melakukan aksi. Oleh karenanya, kata dia, setelah berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012 diperlukan kesepakatan-kesepakatan baru antara Utara dan Selatan untuk secara bersama-sama melakukan upaya menghindari bencana iklim. Ia mengatakan, aksi-aksi yang dilakukan sekarang dan yang akan datang harus dilakukan berdasarkan prinsip tanggung jawab historis dan kapasitas untuk bertindak. Masalah penting yang harus dipecahkan adalah bagaimana menemukan jalan untuk pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang yang tidak hanya mencakup perlindungan lingkungan, namun juga upaya meningkatkan standar hidup masyarakat dan menghapuskan kemiskinan dalam kerangka ekologi, serta mendorong kebijakan baru untuk pertanian, industri, perdagangan dan keuangan. Untuk itu, diperlukan koherensi dalam kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional, serta langkah-langkah untuk memecahkan masalah utang negara berkembang karena untuk membayar utang yang menumpuk itu, tak jarang negara berkembang justru merusak sumberdaya alam yang makin membuat mereka rawan terhadap dampak perubahan iklim. Di lain pihak, koalisi LSM juga mendorong negara-negara berkembang untuk menerapkan teknologi yang ramah lingkungan, yang juga bisa diakses oleh warga miskin.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007