Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah, mengatakan bahwa dana moneter internasional (IMF) seharusnya kembali ke khitahnya (fungsi asalnya) dengan tidak lagi mengurusi urusan domestik suatu negara. "Kita sangat mendukung IMF kembali khitahnya. Kalau IMF mengurusi yang bukan bidangnya malah menambah masalah," katanya di Jakarta, Jumat. Ia mengatakan, dalam pertemuan IMF-Bank Dunia yang berlangsung di Washington AS pada 20-22 Oktober 2007, para peserta mempertanyakan relevansi dan peran IMF. "Bahkan, orang bertanya apakah langkah-langkah selama ini harus dikembalikan, sehingga diskusi mengarahkan pada mengembalikan IMF kepada khitahnya yaitu kepada upaya-upaya untuk mempertahankan `external balance`," katanya. Dengan demikian, menurut dia, tugas-tugas IMF adalah menangani masalah-masalah neraca pembayaran dan masalah-masalah nilai tukar. "Jadi, bukan masalah-masalah kebijakan domestik yang di banyak negara justru menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan," katanya. Ia menambahkan, dalam pertemuan tersebut negara-negara berkembang juga mendesak adanya transparansi dan demokratisasi dalam pemilihan pemimpin di IMF. "Berbagai gubernur bank sentral dalam pidato sambutannya kemarin menyatakan selain memberikan ucapan selamat juga menginginkan pemilihan direktur eksekutif dipilih secara transparan secara profesional," katanya. Ia mengatakan, selama ini pemilihan pemimpin untuk bank dunia dan dana moneter internasional dibagi oleh Amerika dan Eropa dimana kepemimpinan bank dunia diberikan kepada Amerika dan dana moneter internasional kepada Eropa. "Ke depan diharapkan negara Asia, terutama yang besar juga mendapatkan kesempatan. Sehingga dalam konteks itu tahun depan kita ingin transparansi dan demokratisasi menjadi kenyataan," katanya. Selain itu, menurut dia, dalam pertemuan tersebut juga dibahas mengenai masalah regionalisme, di mana hal ini semakin tidak terelakkan. "Banyak negara berkembang yang sepakat bahwa regionalisme sesuatu yang tidak terhindarkan," katanya. Dalam konteks regionalisme tersebut, menurut dia, ASEAN dan Asia Timur dinilai sebagai kelompok yang paling maju dengan berbagai kerjasama seperti adanya "ASEAN swap arrangement" (pengaturan bantuan likuiditas bagi negara yang kekurangan likuiditas di kawasan ASEAN plus tiga negara yakni Jepang, China dan Korea Selatan). Hal ini, menurut dia, membuat kalangan negara-negara Amerika Latin mencontoh dari keberhasilan di kawasan ASEAN tersebut. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007