Jakarta (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat Perkumpulan Prakarsa merekomendasikan agar pemerintah segera mengkaji ulang secara mendalam kebijakan insentif fiskal dan nonfiskal terhadap kegiatan ekspor maupun impor, terutama untuk komoditas strategis yang menyumbang nilai ekspor besar bagi Indonesia.

"Kebijakan pemberian insentif fiskal berupa bea masuk, tax holiday, tax allowance, yang jor-joran berpotensi menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengelakan dan penghindaran pajak secara lebih masif," kata pemapar riset Perkumpulan Prakarsa, Widya Kartika di Jakarta, Kamis.

Dalam pemaparan hasil riset dan diskusi publik bertajuk "Aliran Keuangan Gelap di Enam Komoditas Ekspor Unggulan Indonesia", Widya menyampaikan bahwa pada periode 1989 hingga 2017, Indonesia mengalami aliran keuangan gelap masuk (dengan cara ekspor over-invoicing) sebesar 101,49 miliar dolar AS.

Sementara aliran keuangan gelap keluar (dengan cara under-invoicing) sebesar 40,58 miliar dolar AS akibat adanya selisih pencatatan perdagangan antar negara di enam komoditas ekspor unggulan.

Adapun keenam komoditas unggulan ekspor tersebut yakni minyak sawit, batu bara, karet, tembaga, kopi dan udang.

"Ini berarti Indonesia mengalami lebih banyak aliran keuangan gelap yang masuk dibandingkan keluar pada keenam komoditas ekspor unggulan Indonesia yang nilainya mencapai lebih dari 60 miliar dolar AS," papar Widya.

Menurut dia, Indonesia mengalami aliran keuangan gelap keluar pada enam komoditas rata-rata sebesar 233 juta dolar AS. Sementara, aliran keuangan gelap yang masuk rata-rata mencapai 583 juta dolar AS.

Selain mengkaji kebijakan insentif fiskal, Prakarsa juga merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan eksportir dan memfokuskan pada komoditas tertentu, yakni batu bara dan kelapa sawit, di mana keduanya memiliki potensi paling tinggi terhadap terjadinya praktik aliran keuangan gelap.

"Pemerintah dan parlemen juga perlu segera melakukan perubahan regulasi perpajakan, kepabeanan dan perdagangan lintas negara serta melakukan peninjauan kembali perjanjian perpajakan (tax-treaties) dengan negara-negara lain agar potensi hilangnya penerimaan negara dari pajak dan nonpajak dapat dicegah dengan lebih baik," ungkapnya.

Terakhir, Widya menyampaikan agar pemerintah perlu segera membangun kolaborasi lintas aktor (non-pemerintah dengan pemerintah) untuk mengatasi permasalahan aliran keuangan gelap.

"Dalam konteks kolaborasi di lingkungan pemerintah, serta Kementerian/Lembaga terkait dalam melakukan kerja-kerja kolaboratif untuk menekan hilangnya potensi penerimaan negara dari praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion)," ujar Widya.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019