Tentu kalau kita terpilih kembali, bisa menentukan kebijakan-kebijakan maritim dunia
Nusa Dua (ANTARA) - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan menggalang dukungan Australia untuk pencalonan sebagai anggota dewan Organisasi Maritime Internasional (IMO) dalam Indonesia – Australia Transportation Sector di Nusa Dua.

”Kita memohon dukungan Australia untuk IMO council, itu mendapatkan satu dukungan,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan yang juga bertindak sebagai Co-Chair Indonesia – Australia Transportation Sector di Nusa Bali, Kamis.

Dukungan ini menjadi penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas 1/8 keliling bumi.

“Tentu kalau kita terpilih kembali, bisa menentukan kebijakan-kebijakan maritim dunia,” katanya.

Dalam kesempatan sama, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) yang juga bertindak sebagai ketua delegasi Indonesia dalam Working Group Transportasi Laut mengatakan terkait dengan pencalonan anggota Dewan Indonesia menyampaikan tanggapannya mengenai Permohonan Pengaturan Saling Dukung dari Pemerintah Australia dalam pencalonan sebagai anggota dewan IMO yang pemilihannya akan dilaksanakan pada Sidang Assembly IMO ke-31 pada November 2019.

Adapun terkait dengan keselamatan maritim, Ahmad menyampaikan bahwa Indonesia mengajukan proyek kerja sama di peningkatan kapasitas atau pengingkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam bentuk Training Course and Benchmarking of Inspection for Safe Container Certification and Implementation of Verified Gross Mass.

“Kami mengajukan kerja sama untuk menyelenggarakan Pelatihan dan juga Benchmarking terkait pemeriksaan peti kemas yang aman dan penerapan berat kotor yang terverifikasi,” ujarnya.

Selain itu, Indonesia juga menyampaikan tentang penetapan Trafic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok dan juga pentingnya peran Vessel Traffic Services (VTS), dalam hal ini VTS Benoa, bagi TSS di kedua Selat tersebut.

“Untuk itu, kami juga mengajukan kerja sama peningkatan kapasitas SDM dalam bentuk Pelatihan bagi Operator dan Supervisor VTS,” katanya.

Pada topik bahasan Perlindungan Lingkungan Laut atau Marine Environment Protection, Indonesia menyampaikan posisinya terkait Aturan IMO mengenai batas kandungan sulfur pada bahan bakar kapal dan juga pengurangan emisi gas rumah kaca dari kapal.

Sebelumnya, IMO telah mengeluarkan aturan melalui MARPOL Annex VI untuk mengurangi emisi sulfur oxida dari kapal.

Aturan tersebut menetapkan bahwa mulai tanggal 1 Januari 2020, semua kapal yang berlayar internasional wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak boleh melebihi 0,5 persen m/m. Sedangkan bagi kapal yang dioperasikan di Emission Control Area tidak boleh melebihi 0,1 persen m/m.

“Persyaratan ini nantinya akan menjadi objek pemeriksaan bagi Port State Control Officer di luar negeri, dan bagi kapal yang tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut per 1 Januari 2020 tentunya akan menjadi objek penahanan,” katanya.

Menurut Ahmad, Kementerian Perhubungan telah mengatur hal tersebut melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 Pasal 36.

Selain itu, dia mengaku bahwa pihaknya telah melakukan koordinasi, sosialisasi, serta menyelenggarakan workshop terkait hal tersebut dengan mengundang dan melibatkan Kementerian/Lembaga, Institusi, serta pemangku kepentingan terkait.

“Adapun bagi kapal yang berlayar internasional namun belum dapat memperoleh bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 0,5 persen tersebut dapat menggunakan sistem pembersihan emisi gas buang kapal, seperti misalnya sistem open loop scrubber atau lainnya, yang telah disetujui oleh Ditjen Perhubungan Laut selaku Administrator,” ujar Ahmad.
 

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019