Pekanbaru (ANTARA News) - Keberadaan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) perlu diposisikan sebagai milik bersama, untuk terus mendorong unit manajemen pengelolaan hutan tanaman lestari (PHTL), baik hutan alam maupun hutan tanaman industri di Indonesia, mengikuti skema sertifikasi ekolabel yang mensyaratkan pengelolaan hutan secara lestari. Dalam kaitan itu, dukungan lebih pemerintah --dalam hal ini Departemen Kehutanan (Dephut) masih sangat dibutuhkan, untuk meningkatkan kinerjanya bagi upaya pengelolaan hutan lestari dan mengedepankan aspek lingkungan. Benang-merah tersebut mengemuka dalam wawancara dengan pemangku kepentingan (stakeholder) yakni Dirut Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Rudy Fajar dan Manajer Sekretariat LEI, Gladi Hardiyanto, Kamis, disela-sela kegiatan "visit journalist" ke RAPP atau Riaupulp di Pangkalan Kerinci, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau. Riaupulp pada tahun 2006 berdasarkan hasil akhir penilaian dari kegiatan evaluasi kinerja unit manajemen itu oleh Panel Pakar II --yang didasarkan pada aspek produksi, ekologi dan sosial--dinyatakan lulus proses sertifikasi PHTL sesuai dengan sistem standar LEI dengan peringkat perunggu pada konsesi pengelolaan seluas 159.500 hektar. LEI adalah lembaga independen akreditasi sertifikasi yang berbasis komunitas (CBO). Skema sertifikasi ekolabel bagi unit manajemen pengelola hutan, menurut Rudy Fajar, adalah keniscayaan yang harus dilakukan meski untuk mencapainya membutuhkan waktu yang lama, karena hal itu sudah menjadi tekad mengelola indusri sesuai yang dipersyaratkan dalam konteks lingkungan. "Masih diperlukan strategi besar kampanye agar LEI ini menjadi milik publik, sehingga unit-unit manajemen pengelola hutan di Indonesia mengikuti skema ekolabel ini," katanya. Diakuinya bahwa permasalahan yang ada dan masih menimbulkan konflik dengan masyarakat adalah kondisi nyata yang harus dihadapi, dan pihaknya juga terus berkomitmen untuk mengikuti skema penyelesaian yang demokratis dengan mengedepankan aspek dialog dengan multipihak. Proses dari skema penyelesaian yang disebut panjang dan melelahkan itu diakui oleh Stakeholder Relation Manager, Dian Novarina, yang menjelaskan tentang proses awal yang dimulai tahun 2004 dan mendapatkan sertifikasi ekolabel pada tahun 2006, dan berdasarkan hasil evaluasi pada proses Penilikan pertama tahun 2007, juga dinyatakan lolos oleh LEI. "Semua proses panjang itu, yang berkaitan antara perusahaan, masyarakat dan LSM sebagai pihak ketiga yang dalam skema itu dipersyaratkan harus dilibatkan, semuanya kita lalui dan bahkan sampai hari ini. Itu semua kita tempuh karena tujuannya adalah penyelesaian secara `long term`, dan bukan secara instan yang memang memerlukan waktu singkat," katanya. Hal tersebut juga diakui oleh Ahmad Zazali, mantan Koordinator Jikalahari, sebuah jaringan LSM di Riau yang mengadvokasi konflik antara masyarakat dengan RAPP --yang kini menjabat Direktur Kemitraan Pembangunan Sosial Berkelanjutan "Scale-Up". Sementara itu, Gladi Hardiyanto dari LEI mengakui bahwa harapan agar LEI bisa diposisikan sebagai milik bersama memang dirasakan sebagai sebuah tantangan bagi lembaga itu. Hanya saja, secara internal ada masalah keterbatasan sumberdaya di pihaknya. Ia memberi rujukan pada awal-awal LEI terbentuk di era Djamaluddin Suryohadikusumo, pemerintah memberi dukungan cukup besar, yakni menjadi salah satu Kelompok Kerja (Pokja) --yakni Pokja Ekolabel--di mana bantuan sumberdaya, termasuk dukungan pendanaan amat membantu bagi operasional LEI. Namun, sejak 1998 dukungan itu agak menurun dan bahkan kini tidak ada.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007