Oleh Santoso Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (30/10), yang menolak uji materi hukuman mati yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 memupuskan harapan para pengaju uji materi itu untuk lepas dari hukuman maksimal dalam kasus narkotika dan bahan berbahaya (narkoba). Jauh hari sebelumnya, sebanyak lima orang terpidana mati kasus narkotika mengajukan uji materi ke MK bertujuan menghapus hukuman mati yang termuat dalam UU Nomor 22/1997. Mereka adalah Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani yang Warga Negara Indonesia (WNI), serta tiga warga negara Australia, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Anthony Rush Edith, Rani, Sukumaran, dan Chan dalam persidangan di MK diwakili pengacara Todung Mulya Lubis, sedangkan Rush diwakili pengacara Denny Kailimang. Edith terlibat kasus peredaran heroin seberat seribu gram, sedangkan Rani dihukum dalam kasus peredaran heroin seberat 3.500 gram. Mereka divonis mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang Ketiga WN Australia itu divonis mati oleh PN Denpasar, karena terbukti menyelundupkan sebanyak 8,2 kilogram heroin dari Australia ke Bali. Mereka mengajukan uji materi terhadap pasal 80 ayat 1 huruf a, pasal 80 ayat 2 huruf a, pasal 80 ayat 3 huruf a, pasal 81 ayat 3 huruf a, pasal 82 ayat 1 huruf a, pasal 82 ayat 2 huruf a, dan pasal 82 ayat 3 huruf a yang tedapat dalam UU No 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Pasal-pasal itu mengatur tentang ancaman hukuman mati bagi produsen dan pengedar narkotika secara terorganisir. Namun, hanya permohonan Edith dan Rani yang diuji MK, sedangkan permohonan ketiga orang Australia tidak diuji karena sebagai orang asing mereka tidak berhak mengajukan uji materi UU ke MK. Setelah menguji materi tersebut, MK menyatakan keyakinannya bahwa hukuman mati bagi para produsen dan pengedar narkotika tetap sah, sehingga upaya lima terpidana mati kasus narkotika untuk menghapus hukuman mati pun sirna. Pidana mati, menurut MK, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Menurut MK, bahkan pasal 6 ayat 2 ICCPR membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya, MK menyatakan, Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi internasional tentang narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika. Konvensi tersebut juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. "Dengan demikian, penerapan pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak bertentangan UUD 1945, tetapi justru dibenarkan oleh konvensi internasional," kata Hakim Konstitusi Hardjono. Anggota Komisi III DPR, yang membidangi masalah hukum, Al Muzzammil Yusuf menyatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi itu merupakan keputusan berani. "Keputusan MK itu adalah keputusan yang benar, berani, dan penting. Ini sangat relevan bagi penyelamatan nasib generasi muda Indonesia saat ini dan di masa depan," katanya. Hal tersebut, kata dia, sangat sejalan dengan semangat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang akhir-akhir ini membongkar jaringan kelas kakap bandar narkotika berskala internasional. Ketua DPR, Agung Laksono, mennilai bahwa keputusan MK mengenai hukuman mati sudah tepat, sehingga eksekusi terhadap narapidana hukuman mati yang sudah berkekuatan hukum dapat segera dilakukan. "Kalau hukuman mati ditiadakan, maka tidak ada lagi yang bisa menimbulkan efek jera," katanya. Keputusan MK itu, katanya, juga positif dalam rangka pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Keputusan MK itu juga membuat harapan Pemerintah Australia untuk menghalangi hukuman mati terhadap enam warganya yang terjerat hukkum di Indonesia sia-sia. Dari enam orang itu, tiga orang diantaranya mengajukan uji meteri UU narkotika ke MK. Menjelang pembacaan keputusan MK, Menteri Luar Negeri Alexander Downer sempat meminta kepada Pemerintah Indonesia supaya memberikan peluang hidup kepada enam warga Australia yang divonis hukuman mati. Ia mengatakan, jika upaya-upaya hukum gagal, maka dia akan membicarakan bagaimana cara terbaik selanjutnya dengan Perdana Menteri (PM) John Howard. Sebaliknya, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), Made Mangku Pastika, menegaskan bahwa upaya hukum untuk menggugat legalitas hukuman mati kasus narkoba dipastikan tertutup. Pastika berkeyakinan, tidak akan ada lagi upaya untuk menghapus hukuman mati dalam kasus narkoba, baik narkotika maupun psikotropika. "Tidak ada celah lagi bagi mereka untuk menghindar hukuman mati," katanya menegaskan. Pastika yakin hukuman mati dalam UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika tidak akan dibatalkan oleh MK kendati nantinya akan diajukan uji materi oleh pihak lain. Sejalan dengan keputusan MK tersebut, setidak-tidaknya ada 62 terpidana mati kasus narkoba harus bersiap menghadapi eksekusinya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007