Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menetapkan kebijakan cukai tahun 2008 melalui penetapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/PMK.04/2007 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang akan mulai berlaku 1 Januari 2008. "Kebijakan ini dibuat dalam rangka menyederhanakan administrasi, melindungi industri dalam negeri, dan mengurangi salah satu penyebab peredaran hasil tembakau illegal," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (BKF), Anggito Abimanyu, di Jakarta, Kamis. Menurut Anggito, berdasar PMK yang ditandatangani Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada 1 Nopember 2007 itu, maka penerapan beban cukai untuk semua golongan rokok akan mengarah ke tarif spesifik dengan harga jual eceran (HJE) diadministrasikan oleh pemerintah. Karena itu, pemerintah melakukan penyesuaian terhadap harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau. Kebijakan tersebut, menurut Anggito, sejalan dengan road map industri hasil tembakau hingga 2015 yang telah dikomunikasikan pemerintah kepada para pelaku usaha hasil tembakau. "Prosesnya sudah cukup lama termasuk dengan pihak Departemen Perindustrian dan instansi lainnya. Dengan pelaku usaha kita melakukan pertemuan paling tidak 2 kali," katanya. Menurut dia, sistem tarif cukai berdasar PMK itu tidak mengalami perubahan yaitu menggunakan gabungan sistem tarif cukai advalorum dan tarif cukai spesifik. Besar tarif cukai spesifik dari semua jenis sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek tangan filter (SKTF), dan sigaret putih mesin (SPM) ditetapkan sebesar Rp35,00 per batang, kecuali untuk SKT golongan III sebesar Rp30,00 per batang dengan komponen tarif advalorum masih progresif. "Dampak dari penyesuaian tarif cukai spesifik ini menyebabkan tarif cukai advalorum turun secara proporsional sehingga pembayaran cukai secara proporsional sehingga pembayaran cukai secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang signifikan," katanya. Menurut Anggito, untuk memperkecil gap antara besaran HJE dengan harga transaksi pasar (HTP), maka PMK itu mengatur bahwa HJE minimum untuk golongan II dan golongan III dapat diturunkan paling tinggi 15 persen. Sebelumnya mulai Juli 2007, pemerintah menerapkan kebijakan tarif spesifik yang dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu Rp7 per batang untuk golongan I, Rp5 untuk golongan II, dan sebesar Rp3 untuk golongan III. Sementara tarif advolorum bervariasi hingga maksimal 40 persen. Mmengenai target penerimaan cukai tahun 2008 yang ditetapkan sebesar Rp44 triliun atau naik sebesar Rp2 triliun dari tahun 2007, Anggito mengatakan, kenaikan tersebut akan dapat diperoleh dari pertumbuhan produksi rokok secara alamiah yang mencapai sekitar 3 hingga 4 persen. "Tahun depan kita perkirakan produksi rokok akan mencapai 227 miliar batang sementara tahun 2007 ini diperkirakan mencapai sekitar 224 miliar batang," kata Anggito. PMK 134 itu juga menyederhanakan golongan rokok dari sebelumnya 4 golongan hasil tembakau jenis SKT dan tembakau iris yang terdiri dari golongan I, II, IIIA, dan IIIB menjadi 3 golongan saja. Tiga golongan pabrik itu adalah golongan I jika pabrik rokok yang bersangkutan memproduksi lebih dari 2 miliar batang per tahun, golongan II jika memproduksi lebih dari 500 juta batang namun tidak lebih dari 2 miliar batang, dan golongan III jika tidak lebih dari 500 juta batang per tahun. Demikian juga dengan hasil tembakau jenis kelobot, kelembak menyan, dan sigaret putih tangan yang sebelumnya dikelompokkan dalam 2 golongan, disederhanakan menjadi 1 golongan tanpa golongan atau tanpa batasan produksi. Terhadap tarif cukai untuk jenis sigaret kretek tangan filter (SKTF) disetarakan dengan tarif cukai jenis SKM, dengan maksud memudahkan pengawasan atas jenis hasil tembakau SKTF. "Dalam rangka melindungi industri hasil tembakau dalam negeri maka untuk hasil tembakau impor dikenakan tarif tertinggi yang berlaku tanpa membedakan cara membuatnya," kata Anggito didampingi Direktur Cukai Ditjen Bea dan Cukai Frans Rupang dan Kepala Biro Humas Depkeu, Samsuar Said. Sementara itu terhadap pengusaha pabrik hasil tembakau yang melakukan ekspor yang jumlahnya melebihi produksi hasil tembakau dari jenis yang sama untuk pemasaran domestik dalam 1 tahun takwim, tetap diberikan insentif berupa penurunan tarif cukai. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007