Brisbane (ANTARA News) - Penanganan pemerintah terhadap para pemimpin dan anggota kelompok-kelompok aliran yang dituding Majelis Ulama Indonesia (MUI) sesat akhir-akhir ini sepatutnya tetap mengacu pada prinsip netralitas negara dan tidak terjebak dalam argumentasi teologis melainkan argumentasi hukum. "Selaras dengan prinsip negara yang harus netral, tindakan negara sepatutnya bukan pada argumen teologi seperti yang disampaikan banyak orang, tetapi konsern pada kriminal," kata Cendekiawan muda Muslim yang juga mahasiswa program doktor Universitas Queensland (UQ), Akhmad Muzakki, di Brisbane, Jumat. Dalam kasus Al Qiyadah al Islamiyah misalnya, pemerintah bertindak bukan karena adanya desakan berbagai organisasi keislaman seperti MUI, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang menilai ajaran kelompok ini "sesat" tetapi karena Al Qiyadah melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hukum seperti melakukan penculikan dan pemerasan dalam rekrutmen para anggota, katanya. "Mestinya negara konsern dengan soal-soal begini. Mengapa? Karena terlepas dari apa pun keyakinan orang, kalau sikap negara netral dalam bertindak seperti mengaitkannya dengan aksi kriminal kelompok-kelompok itu, maka negara kan tetap menjadi pengayom rakyatnya," kata Akhmad Muzakki. Dosen IAIN Surabaya yang menyelesaikan pendidikan magisternya di Universitas Nasional Australia (ANU) itu mengatakan, dengan sikap netral negara itu, para pengikut kelompok-kelompok semacam Al Qiyadah dan Lia Eden itu tetap bisa ditangani dan negara tidak terjebak pada persoalan teologis. "Jadi, penangkapan mereka bukan didasarkan pada asumsi bahwa mereka sesat melainkan tindakan kriminal yang mereka lakukan. Selain modus penculikan atau pengompasan, tindakan hukum terhadap kelompok-kelompok ini juga bisa didasarkan pada laporan orang tua atau masyarakat yang anaknya atau saudaranya hilang dan ditemukan di dalam kelompok-kelompok ini," katanya. Kemudian, proses penanganan yang bersifat teologis sepatutnya ditangani MUI dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Washliyah, dan Al Irsyad melalui program dakwah dan dialog konstruktif, katanya. "Sebagai misal, adakan pertemuan semacam musyawarah umat Islam yang diorganisir MUI untuk membahas persoalan Al Qiyadah. Masalahnya adalah jangan-jangan gagasan Al Qiyadah belum pernah dipertukarkan dengan kelompok-kelompok lain." "Artinya, buatlah forum dimana MUI, NU dan Muhammadiyah misalnya bisa mendengar langsung seperti apa gagasan Al Qiyadah atau kelompok-kelompok lain yang dituding sesat selama ini. Setelah berdiskusi dan saling tahu posisi, proses berikutnya adalah bagaimana masing-masing saling memahami," katanya. Jika ormas-ormas besar Islam menyimpulkan dari proses dialog tersebut bahwa Al Qiyadah dan kelompok-kelompok lain itu "sesat", maka tinggal bagaimana mendakwahkan Islam yang benar kepada mereka. Hanya dengan cara demikian, umat Islam Indonesia tidak mengulang lagi sejarah buram perjalanan bangsa Indonesia dalam merespons masalah-masalah perbedaan keyakinan, gagasan, dan sekte agama, katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007