Jakarta (ANTARA) - Setiap pemilihan umum memiliki proses yang panjang mulai dari penentuan calon peserta, tahapan kampanye, hari pemungutan suara dan muaranya pada penghitungan suara yang menjadi penentu pemenang.

Penghitungan suara ini terbagi menjadi dua bagian penting, yang pertama proses teknis yakni menghitung total suara sah dari setiap tempat pemungutan suara (TPS) setelah pencoblosan.

"Nah yang banyak diketahui masyarakat hanya sampai di sana, tetapi bagian keduanya, bagaimana cara menghitung suara agar calon dinyatakan menang, tidak semua masyarakat tahu. Untuk menentukan pemenang tidak asal tambah-tambahkan saja, bukan sesederhana itu," kata pendiri sekaligus peneliti utama organisasi Netgrit, Hadar Nafis Gumay.

Setiap negara, menurut Hadar yang juga mantan Komisioner KPU RI ini, tentunya mengadopsi metode-metode baku penghitungan suara dalam menentukan pemenang pemilu sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, termasuk di Indonesia.

Dalam pemilihan presiden, Indonesia memilih metode penghitungan suara bernama Majolitarian atau dinyatakan menang jika mendapatkan suara mayoritas, dan model ini tetap dipakai sampai sekarang di Pemilu 2019.

Majolitarian ini mulai dipergunakan sejak pemilu pertama era reformasi 1999, karena Indonesia mengubah model penyelenggaraan dengan sistem pemilihan langsung untuk pemilu presiden.

Metode yang dipakai tersebut sedikit berbeda jika dibandingkan dengan negara lain, sebab tidak hanya mengacu pada total suara terbanyak saja sebagai penentu kemenangan, namun sedikit dimodifikasi dengan menentukan penyebaran suara yang didapat.

"Jadi calon presiden dinyatakan menang kalau dapat suara terbanyak, dan menang di atas 20 persen di separuh wilayah Indonesia," kata dia.
Pendiri dan peneliti utama Netgrit sekaligus mantan Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay menjelaskan sejarah metode penghitungan suara. (Boyke Ledy Watra)

Berbeda dengan penghitungan suara pilpres yang masih sama dari pemilu ke pemilu, model penghitungan pemenang kursi anggota legislatif di Indonesia terus berkembang.

Di era orde baru, pemilihan anggota legislatif memakai sistem penghitungan suara dengan rumpun metode penentuan kuota. Kala itu penghitungannya hanya digunakan untuk menentukan proporsi kursi legislatif yang didapat oleh partai politik.

Beranjak reformasi, di pemilu pertamanya hingga penyelenggaraan pada 2014, Indonesia masih tetap menggunakan metode kuota atau yang dikenal dengan Kuota Hare.

Kuota Hare merupakan metode penentuan jumlah suara yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu kursi DPR, caranya membagi total suara sah dengan alokasi kursi yang tersedia atau nilainya disebut dengan bilangan pembagi pemilih (BPP).

Meskipun pada penyelenggaraan 1999, 2004 dan 2009 sama-sama menggunakan Kuota Hare, namun cara penghitungannya sedikit berbeda menyesuaikan dengan sistem pemilu yang dipakai.

Pemilihan umum 1999, bilangan pembagi pemilih dipergunakan hanya untuk menentukan jumlah kursi yang diperoleh partai politik saja. Sistem pemilu saat itu dikenal dengan sistem proporsional tertutup.

Pemilih di sistem proporsional tertutup hanya mendapat ruang untuk mencoblos parpol, tidak bisa menentukan langsung pilihannya pada calon anggota legislatif tertentu meski daftar calegnya tersedia.

Namun pada penyelenggaraan pemilu 2004, Indonesia beralih sistem menjadi sistem proporsional terbuka. Kali ini BPP yang ditentukan dengan metode Kuota Hare tersebut tidak hanya untuk menentukan jumlah kursi yang didapat parpol saja, tetapi juga untuk menentukan ambang batas calon legislatif yang dinyatakan sebagai pemenang pemilu.

"Pada sistem proporsional terbuka, kita diberi ruang memilih caleg, tetapi mereka dinyatakan langsung terpilih kalau suara yang didapat di atas BPP, metode ini juga serupa dengan 2009 dan 2014," kata Hadar.

Hanya saja bedanya, pada Pemilu 2004 calon yang berhak menempati alokasi kursi yang diraih parpol yakni sesuai dengan nomor urut paling atas kalau tidak mencapai angka BPP.

Sedangkan pada 2009 dan 2014, calon dengan nomor urut mana saja bisa menempati alokasi kursi asal mendapatkan suara terbanyak.

Sementara pada pemilu 17 April 2019 mendatang Indonesia masih tetap akan menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka, tetapi untuk metode penghitungan suara tidak lagi memakai Kuota Hare, melainkan menggunakan rumpun Divisor dan metodennya bernama Sainte Lague murni.

Berbeda dengan kuota, rumpun Divisor tidak menetapkan harga suara yang dibutuhkan untuk memperoleh satu kursi. Pemenang akan ditentukan menggunakan bilangan pembagi ganjl, atau total suara sah partai politik akan dibagi dengan bilangan pembagi ganjil.

"Jadi setelah dibagi, maka nilainya akan diurut peringkat tertinggi, dan nantinya akan ditentukan pemenangnya sesuai jumlah alokasi kursi," ujarnya.

Baca juga: Perjuangan Srikandi desa di Kampar sukseskan pesta demokrasi
 
Peneliti Perludem, Heroik Mutaqin Pratama, Menjelaskan keunggulan metode Sainte Lague untuk penghitungan suara pemilu. (Boyke Ledy Watra)


Terbaik

Metode umum di dunia mengenai penghitungan suara untuk penentuan jumlah kursi yang didapat oleh partai politik pada pemilihan umum dapat dikualifikasikan dalam dua rumpun.

Model pertama adalah rumpun kuota, yang terdiri atas sub bagian, yakni metode Kuota Hare dan Kuota Droop.

Rumpun kedua yakni Divisor, di sana terdapat tiga metode baku, dikenal dengan Divisor D'Hond, Divisor Sainte Lague, dan Sainte Lague modifikasi.

Dari lima metode ini, organisasi Perludem telah melakukan riset tingkat proporsionalitas, dengan menggunakan indeks LSq.

"Tidak ada metode yang benar-benar ideal dipakai di setiap pemilu, yang ada hanya proporsional atau tidak. Jadi kita bisa hitung menggunakan indeks LSq, semakin kecil nilai indeks maka metode yang digunakan semakin proporsional," kata Peneliti Perludem, Heroik Mutaqin Pratama.

Perludem membandingkan dua metode yang dipergunakan di Indonesia, yakni Kuota Hare dan Sainte Lague dengan memakai data hasil pemilihan umum 2014.

Hasilnya, penggunaan Kuota Hare membubuhkan indeks LSq 2,9 poin dan Sainte Lague 2,7 poin. Dua metode ini dianggap sama-sama proporsional karena memiliki nilai yang kecil namun Sainte Lague dinilai lebih baik dengan indeks yang lebih rendah.

Sementara ketika data pemilu 2014 diuji penghitungannya menggunakan metode Sainte Lague modifikasi malah nilai indeks LSq yang ditunjukkan lebih tinggi dari Hare dan Sainte Lague murni.

"Pada 2019 ini merupakan kali pertama kita akan mengganti metode sejak 1955, dari Hare ke Sainte Lague, jadi untuk membandingkan mana yang lebih baik maka kita mencoba mengaplikasikan dua metode ini pada satu data yang sama yakni data pemilu 2014," katanya.

Untuk metode Sainte Lague cara penghitungannya menurut Heroik cukup sederhana yakni tinggal membagi masing-masing suara sah yang diperoleh partai politik dengan bilangan pembagi ganjil, yakni 1, 3, 5 dan 7.

Hasil dari pembagian bilangan ganjil ini akan diperingkatkan dari nilai terbesar hingga terkecil. Setelah itu baru ditentukan peraih kursi sesuai dengan jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan tersebut.

"Contohnya partai A mendapatkan 800 ribu suara partai B dapat 300 ribu suara dan partai C dapat 100 ribu suara, nah nanti masing-masing dibagi dengan bilangan ganjil," ujarnya.

Jika di daerah pemilihan tersebut hanya tersedia lima kursi saja, maka lima hasil bagi tertinggilah yang akan mendapatkannya. Hal ini berbeda dengan Kuota Hare, parpol dinyatakan mendapat satu kursi kalau memenuhi atau melebihi jumlah ambang batas suara atau nilai BPP.Baca juga: Menepis bayang kelabu di Victoria Park

Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2019