Pangkalan Kerinci (ANTARA News) - Komisi IV DPR mendesak Departemen Kehutanan (Dephut) dan Kepolisian RI agar duduk bersama untuk menyelesaikan kemelut dugaan pembalakan liar (illegal logging) yang melibatkan pabrik bubur kertas di Riau yang telah berlangsung selama sepuluh bulan sejak Januari 2007. "Masalah dugaan pembalakan liar di Riau yang telah berlangsung sepuluh bulan, harus segera diselesaikan agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar, baik bagi perusahaan, tenaga kerja dan masyarakat," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR Syarfi Hutauruk, menjawab wartawan di Pangkalan Kerinci, seusai kunjungan kerja anggota Komisi IV DPR ke perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), akhir pekan lalu. Ia dan sejumlah anggota Komisi IV DPR yang mengadakan kunjungan kerja ke RAPP menilai bahwa berlarutnya krisis penyegelan sejumlah kayu bahan baku bubur kertas untuk RAPP dan Indah Kiat Pulp and Paper mengindikasikan pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan dan Kepolisian kurang serius menyelesaiakan kemelut itu. "Kalau mereka serius, persoalan tersebut tidak perlu berlarut-larut hingga 10 bulan," kata Hutauruk. Pihak Polda Riau menyegel sekitar 4.000 m3 kayu gelondongan (log) dengan diameter rata-rata lebih dari 20 cm yang diduga berasal dari pembalakan liar sejak Januari 2007. Hal itu sudah mengganggu rangkaian produksi RAPP, terutama mengganggu pasokan bahan baku. Untuk menjamin kelangsungan produksi, pihak RAPP terpaksa menebang kayu dari areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang belum saatnya ditebang, yang berakibat terganggunya rencana produksi jangka panjang peursahaan penghasil bubur kertas tersebut. Dalam diskusi antara Komisi IV DPR dengan jajaran direksi RAPP, anggota dewan dengan tegas mempertanyakan keabsahan kayu yang disegel polisi itu, dan mengingatkan agar direksi RAPP tidak melakukan kebohongan publik. Pertanyaan anggota Dewan itu dijawab Rudi Fajar dengan menegaskan bahwa RAPP tidak membeli kayu (bahan baku) yang tidak memiliki surat-surat resmi sesuai aturan yang berlaku sejak tahun 2004, baik dari mitra kerja maupun dari masyarakat. Oleh karena itu, pihak RAPP menolak bahwa kayu yang disegel tersebut berasal dari pembalakan liar. Untuk menyelesaikan kemelut tersebut, sebagai wakil rakyat dengan fungsi kontrol Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, perikanan dan kehutanan akan mengundang pihak Departemen Kehutanan, Kepolisian dan perusahaan mengadakan rapat kerja dalam waktu yang segera. "Kita harapkan persoalannya akan menjadi jelas dan dapat dicari jalan keluarnya," kata Hutauruk. Perbedaan interpretasi dan persepsi Anggota Komisi IV DPR, Ganjar Pranowo menengarai kemelut dugaan pembalakan liar di Raiu terjadi karena perbedaan interpretasi dan persepsi terhadap aturan dan undang-undang yang berlaku antara pihak perusahaan dan kepolisian. Menurut Rudi Fajar, kayu gelondongan dengan diameter lebih dari 20 cm yang disegel Polda Riau berasal dari areal HTI milik RAPP maupun dari mitra kerja. Areal konsesi RAPP sendiri berasal dari bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang seluruhnya belum ditanami, sehingga pada saat pembukaan lahan (land clearing) dimungkinkan ada kayu-kayu yang diameternya cukup besar, yang juga dimanfaatkan RAPP sebagai bahan baku bubur kertas karena pasokan dari hutan tanaman belum cukup. Hingga kini, pasokan bahan baku RAPP baru sekitar 70 persen berasal dari hutan tanaman, sisanya masih berupa kayu alam (mixed hard wood). Diperkirakan pasokan kayu dari hutan tanaman baru bisa memenuhi kebutuhan pada tahun 2009, dan dengan demikian pasokan kayu alam akan dihentikan. Menurut Hutauruk, anggota Komisi IV DPR juga akan mengadakan pertemuan dengan Kepolisian Daerah Riau pada Kamis malam, untuk mendapat informasi yang lebih lengkap. Selanjutnya pihaknya akan mempelajari masalah tersebut dan kemudian membuat rekomendasi yang sesuai. RAPP memiliki areal konsesi seluas 470.000 hektare, namun hanya sekitar 66 persen yang produktif karena di areal konsesi itu masih terdapat sejumlah kawasan yang perlu dilindungi dan dikonservasi. Sebagian areal juga diserahkan kepada masyarakat sekitar konsesi untuk dikelola menjadi sumber penghidupan masyarakat tersebut. RAPP sendiri memiliki kapasitas produksi dua juta ton bubur kertas per tahun. Sekitar 75 persen produk tersebut diekspor ke pasar Asia, 15 persen diekspor ke pasar Amerika Serikat dan Eropa, dan 9 persen dijual ke pasar dalam negeri. (*)

Copyright © ANTARA 2007