Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2007 bakal mencapai 6,3 persen, didorong oleh meningkatnya konsumsi dan ekspor. "Sedangkan pada kuartal IV, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 6,4 persen, karena adanya penyaluran kredit yang lebih ekspansif (dan lebih berdampak pada konsumsi rumah tangga-red), kata Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Made Sukada, di Jakarta, Selasa. Badan Pusat Statistik (BPS) baru akan mengumumkan secara resmi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III pada 15 November mendatang. Menurutnya, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III berada pada posisi surplus, meski tidak sebesar surplus di kuartal II. "Dengan kondisi tersebut cadangan devisa akhir Oktober 2007 mencapai 54,2 miliar dolar AS setara dengan 5,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri," jelasnya. Dia juga mengatakan pihaknya akan mencermati peningkatan inflasi inti Oktober (yoy) dari 6,03 persen menjadi 6,13 persen, meski inflasi (yoy) pada Oktober mencapai 6,88 persen lebih tinggi dibanding inflasi (yoy) September 6,95 persen. "Inflasi tersebut dipicu meningkatnya harga akibat kenaikan harga komoditas dunia, selain tingginya ekspektasi masyarakat akan inflasi ke depan. Tekanan dari kelompok makanan bergejolak (volatile food) dan `administered price` lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya," katanya. Target BI sendiri, kata Made, akan tetap sama pada prediksi awalnya, yaitu 6 plus minus 1 persen dan 5 plus minus 1 persen pada 2008 tergantung ekspektasi inflasi yang akan dicermati. "Risiko yang akan dicermati antara lain peningkatan harga minyak dunia yang terus mendorong kenaikan harga-harga barang, termasuk harga CPO, karet dan komoditas ekspor pertanian lainnya. Selain itu, BI juga masih mencermati dampak krisis `subprime mortgage` yang belum mereda," jelasnya. Pada 2008, Made memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan masih menguat lebih dari 6,5 persen karena ekspor untuk negara-negara maju baru ("emerging market"), seperti China, diperkirakan tetap akan tinggi pada dua digit. "Meski ekspor di negara maju kemungkinan turun akibat perlambatan perekonomian dunia sebagai dampak kenaikan harga minyak, namun hal itu akan dikompensasi pada ekspor ke negara-negara `emerging market` itu," jelasnya. Menurutnya, BI merujuk pada hasil analisis sebuah lembaga ekonomi bahwa harga minyak dunia diperkirakan akan turun kerena perlambatan perekonomian dunia serta kemungkinan meningkatnya produksi minyak OPEC. (*)

Copyright © ANTARA 2007