Brisbane (ANTARA News) - Naiknya harga minyak dunia yang sudah hampir mencapai 100 dolar AS per barel dalam beberapa hari terakhir ini dapat memicu krisis keuangan di Indonesia, kata Ekonom Indonesia di Universitas Teknologi Queensland (QUT), Muhammad Handry Imansyah, PhD. Untuk itu, pemerintah harus mempersiapkan skenario terburuk dan membuat kebijakan "pre-emptive", sehingga risiko terjadinya krisis keuangan yang sudah di depan mata bisa berkurang, katanya kepada ANTARA di Brisbane, Rabu. "Dengan melihat berbagai indikator yang memberikan sinyal, sebenarnya kebijakan `pre-emptive` yang dapat dilakukan adalah membenahi indikator-indikator yang memberikan sinyal," kata dosen Universitas Lambung Mangkurat yang menjadi peneliti tamu di QUT itu. Namun, karena harga minyak merupakan faktor eksternal, yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengantisipasi dampaknya terhadap APBN, potensi dampak "imported inflation", serta kebijakan penyederhanaan iklim usaha demi menurunkan ekonomi biaya tinggi, katanya. Dalam kaitan ini, mempersiapkan skenario terburuk dan membuat kebijakan "pre-emptive" (cegah-tangkal-red.) mutlak dilakukan pemerintah untuk mengurangi risiko terjadinya krisis keuangan yang sudah mengintai di depan mata, tambahnya. "Jangan punya anggapan `business as usual` seperti pengalaman kita pada krisis 1997 yang demikian dalam, karena kita menganggap fundamental ekonomi kita cukup kuat tapi nyatanya sangat rapuh," kata ekonom yang pernah terlibat dalam unit survelensi Departemen Keuangan RI itu. Pemerintah dan rakyat tidak boleh meremehkan potensi risiko krisis keuangan itu hanya karena negara telah memiliki cadangan devisa yang mencapai 55 miliar dolar dan tersedianya "ASEAN plus three Swap Arrangement" yang dapat digunakan. "Apalagi kita masih mengalami minimnya investasi asing langsung (FDI), tingginya investasi portofolio yang dapat ditarik kapan saja bila pasar kehilangan kepercayaan. Kehati-hatian adalah langkah yang paling tepat, karena lebih baik mengantisipasi sinyal yang salah dengan kebijakan `pre-emptive` daripada kehilangan kemungkinan signal yang benar tanpa melakukan apapun," katanya lagi. Empat alasan Doktor ekonomi lulusan Universitas Queensland (UQ) Australia itu lebih lanjut mengatakan, dasar argumentasinya tentang terancamnya Indonesia oleh krisis keuangan baru akibat meroketnya harga minyak dunia itu setidaknya ada empat alasan. Alasan pertama, harga minyak berpengaruh pada beban subsidi di dalam APBN yang akan membengkak menjadi Rp90 triliun jika BBM dalam negeri tidak dinaikkan, katanya. "Walau ada sementara kalangan yang menyatakan pengaruhnya (kenaikan harga minyak-red.) netral, tetapi dari model sinyal yang saya kembangkan untuk sistem peringatan dini krisis keuangan yang mana ini dapat memprediksi peluang/probabiltas akan terjadi krisis dalam 24 bulan mendatang dengan data 2006 yang tersedia," katanya. Karena itu, harga minyak memberikan kontribusi yang besar di dalam menyulut krisis keuangan pada 2008. Kedua, tingginya harga minyak ini juga akan meningkatkan inflasi di dalam negeri melalui "imported inflation" dan kemungkinan naiknya BBM dalam negeri. Adapun alasan ketiga, pengaruhnya terhadap ekspor Indonesia yang akan turun dengan terjadinya pelambatan atau resesi di sebagian besar negara maju yang menjadi negara tujuan ekspor Indonesia, kata Muhammad Handry. Dengan demikian, bila keadaan ini terus berlanjut, krisis keuangan hanyalah soal waktu. Ekspor tidak dapat digenjot terutama ekspor barang manufaktur yang terkait dengan prospek ekonomi yang suram di negara tujuan apalagi jika inflasi mulai merambat naik lebih besar daripada inflasi di negara tujuan ekspor sehingga akan memperlemah daya saing ekspor. "Keempat, bila beban subsidi naik karena tidak ingin menaikkan harga BBM dalam negeri, tentu akan meningkatkan defisit APBN.Dampak dari peningkatan defisit ini dapat menyebabkan `loss of confidence` (kehilangan kepercayaan) ...," katanya. Defisit Naik Menurut Muhammad Handry, hilangnya kepercayaan akibat naiknya defisit itu akan menaikkan pula tingkat bunga yang diminta oleh pasar terhadap penerbitan obligasi pemerintah, baik pasar domestik maupun pasar internasional yang selama ini selalu digelontor pemerintah untuk mendapatkan dana bagi pembiayaan defisit atau refinancing obligasi yang sudah jatuh tempo. "Padahal naiknya tingkat bunga domestik dapat menghambat pemulihan yang berjalan sangat lambat di sektor riil," katanya. Dari model sistem peringatan dini yang dikembangkan itu, ia mengatakan, indikator yang memberikan signal adalah harga minyak dunia yang tinggi, tingkat bunga riil tabungan yang relatif rendah, dan melambatnya pertumbuhan tabungan masyarakat. Dua indikator terakhir merupakan cerminan rendahnya tingkat bunga yang kurang menarik bagi penabung sehingga mereka mengalihkan ke dalam portofolio lainnya seperti saham atau reksadana. "Sebenarnya ini ada dua kemungkinan yaitu sektor perbankan kesulitan menyalurkan dana pihak ketiga menjadi kredit karena prospek di sektor riil belum memberikan kepastian usaha sehingga perbankan sengaja menurunkan tingkat bunga tabungan supaya penabung turun." "Kedua, rendahnya tingkat bunga riil mencerminkan mulai meningkatnya inflasi dan masyarakat menyadari bahwa nilai riil `return` dari tabungan sangat rendah sehingga mereka mengalihkannya ke dalam portofolio lainnya. Apalagi awal 2007, indikator rasio uang beredar (M2) terhadap cadangan devisa serta rasio cadangan devisa terhadap impor juga sudah memberikan signal," katanya. Kondisi yang kurang menguntungkan ini sudah sepatutnya diantisipasi pemerintah dengan kebijakan "pre-emptive", katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007