Pemilu seperti piknik
Jakarta (ANTARA) - Erna bersama teman-teman satu pantinya menunggu di depan gedung yang menjadi tempat pemungutan suara (TPS) 108 Kalideres, Jakarta Barat, tempat dia memberikan suaranya dalam Pemilu 2019 pada Rabu.

Dengan menggunakan mobil mini bus berwarna biru, dia datang bersama sembilan orang teman dan enam pendamping untuk menggunakan haknya sebagai warga negara.

Para warga panti menggunakan kaus seragam berwarna hijau terang dan hitam, mereka terlihat senang datang ke TPS.

TPS tersebut memang tak jauh dari Panti Tuna Grahita Belaian Kasih yang berada di bawah naungan Dinas Sosial DKI itu. Di TPS tersebut mereka pun selalu diprioritaskan untuk memilih.

Erna mengerti apa itu pemilu, dia pun menyebutkan salah satu calon presiden yang akan dia pilih nanti.

Saat ditanya bagaimana cara mencoblos, Erna mempraktikkan caranya. Dia menggerakkan tangan kanannya seperti orang mencoblos. Kemudian dia mempraktikkan gerakan mencelupkan jari ke dalam tinta.

Warga panti lainnya Pepen juga paham cara mencoblos surat suara.

"Mencoblos gunakan paku," kata dia sambil mempraktikkan caranya.

Dia senang melaksanakan pemilu, karena menurut dia pemilu seperti piknik.

Pendamping mereka Yuyu Yuliasari mengatakan warga panti memang telah mendapatkan sosialisasi dan simulasi untuk mengikuti pemilihan umum.

Warga panti sudah mengikuti tujuh kali simulasi, yang dilakukan sejak awal 2019 hingga mendekati pemilu.

Simulasi yang diikuti pun beragam, ada yang dari KPU yang diadakan di Kementerian Sosial, ada juga simulasi yang langsung dilakukan di kelas mereka.

Oleh sebab itu, warga panti tak lagi grogi atau bingung saat berada di TPS.

Mmenurut pantauan ANTARA waktu yang dibutuhkan warga panti untuk mencoblos pun tak lebih dari lima menit.

Yuyu mengatakan simulasi yang dilakukan membuat warga panti paham mencoblos, meski dia ragu warga panti dapat memahami apakah mereka mengerti saat mencoblos di kertas DPR RI, DPRD provinsi dan DPD.

"Suratnya terlalu banyak, saya kira itu akan menyulitkan mereka," kata dia.

Yuyu mengatakan pada simulasi ketiga, para warga panti sudah bisa melakukan pencoblosan sendiri.


Pendamping bersikap independen
 
Warga Panti Grahita Belaian Kasih didampingi untuk memberikan hak suaranya di TPS 108 Kalideres, Jakarta Barat, Rabu (17/4/2019). (Antara/Aubrey Fanani)



Meski mereka sudah bisa mandiri, para pendamping tetap mengantarkan mereka mendaftar, mengambil surat suara, ke dalam kotak suara, memasukkan surat hingga mencelupkan jari ke tinta.

Chairul Tanani yang mendampingi tuna grahita menemani salah satu warga panti saat mencoblos, dia membantu membukakan suara, kemudian mundur dan membiarkan warga panti mencoblos.

Seusai mencoblos dia membantu melipatkan surat suara. Dia pun kembali membantu membuka surat suara lainnya, warga panti pun kembali mencoblos.

Pada surat yang kedua, warga panti itu mencoba mencoblos dua kali, lalu Chairul memperingatkannya.

"Sudah coblosnya satu saja," kata dia.

Warga panti tersebut pun berhenti dan kembali melipat kertasnya, setelah itu Chairul mendampingi warga panti memasukkan kertas ke dalam surat suara, kemudian menuju meja terakhir untuk mencelupkan jari ke dalam tinta.

Usai menjalani semua proses tersebut warga panti terlihat bahagia, mereka pun segera dibawa ke dalam mobil sambil menunggu teman-teman lainnya selesai mencoblos.

Chairul mengatakan pendamping memang harus independen, mereka hanya menemani saja memastikan proses pencoblosan yang dilakukan oleh warga panti berjalan lancar.

"Kami menemani saja, mereka tetap mencoblos sendiri," kata dia.

Menurut Yuyu, pendamping memang harus independen. Mereka sudah menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengarahkan warga panti salam mencoblos.

"Perlu didampingi ke kotak suara, soalnya takut mereka bawa lari pakunya atau merobek kertas suaranya. Tetapi kami tidak mengarahkan pilihan. Mereka tetap mencoblos sendiri," kata dia.


Jaga suasana hati
Warga Panti Grahita Belaian Kasih menunggu untuk memberikan hak suaranya di TPS 108 Kalideres, Jakarta Barat, Rabu (17/4/2019). (Antara/Aubrey Fanani)



Mengajak warga binaan untuk menunaikan hak pilihnya ke TPS bisa dikatakan gampang-gampang susah. Para pendamping harus tetap menjaga suasana hati para warga panti agar tetap tenang dan senang saat memilih.

Misalnya Da'ang yang sudah ingin menangis akibat kepanasan. Dia pun sempat kesal dan merengek saat temannya mengganggunya.

Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang Yuyu yang sudah tiga tahun mengajar di Panti Grahita Belaian Kasih itu, membujuk Da'ang untuk tidak menangis.

Dia pun mengusap-usap punggung Da'ang, dengan suara lemah lembut dia mengatakan "sudah Da'ang jangan menangis ya". Akhirnya pun Da'ang menjadi tenang dan ikut melanjutkan proses pemilihan umum.

"Memang gampang-gampang susah menjaga mereka, kalau sudah tantrum mereka bisa memukul temannya, dan itu sulit untuk diajak mencoblos. Kami pun mesti membawa pulang mereka ke panti. Nanti kalau sudah tenang baru di bawa lagi ke TPS," kata Yuyu yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi itu.

Saat mengantre satu pendamping akan menjaga lima warga panti, mereka menjaganya bergantian. Mereka dengan seksama memperhatikan emosi para warga panti.

Juga ada yang butuh sesuatu seperti haus atau ingin buang air kecil, dengan sigap mereka membantu para warga.

"Memang harus sabar melayani mereka," kata Yuyu.

Di Panti Grahita Belaian Kasih ada 97 orang yang mempunyai hak pilih dalam Pemilu 2019, di antaranya 30 orang perempuan dan 67 orang laki-laki. Sebelumnya mereka juga sudah mengikuti pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017.

Baca juga: ISDI: tuna grahita lebih mudah pilih presiden dibandingkan legislatif

Baca juga: 97 warga panti grahita dinsos gunakan hak pilih

Baca juga: PPUAPD turunkan tim pemantau disabilitas di TPS

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019