Jakarta (ANTARA News) - Menko Perekonomian Boediono mengatakan bersedia menjadi saksi kasus penjualan dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina, namun karena dirinya kini menjadi anggota kabinet maka ada tata caranya. "Apabila keterangan dari saya itu bisa memperlancar proses hukum, tentu sebagai warga negara Indonesia dan pejabat yang dulu mengalami situasi itu bersama," kata Boediono di Istana Negara, Jakarta, Selasa malam, saat ditanya apakah dia bersedia menjadi saksi pada sidang kasus VLCC dengan tersangka Laksamana Sukardi. "Tapi saya sekarang adalah anggota kabinet, jadi tentu ada tata caranya," katanya di sela Pembekalan Forum Konsolidasi Pimpinan Daerah, Gubernur, dan DPRD yang diadakan Lembaga Ketahanan Nasional. Pada 12 November 2007, kuasa hukum Laksamana, Juniver Girsang, membenarkan kliennya akan menghadirkan mantan Menteri Keuangan Boediono sebagai saksi meringankan dalam kasus tersebut. Juniver berharap Boediono bisa menjelaskan bahwa pejualan tanker telah mendapatkan persetujuan dirinya. Menurut Juniver, meski Laksamana ketika menjabat Menneg BUMN berwenang melakukan pelepasan aset Pertamina, sesuai ketentuan PP Nomor 41 Tahun 2003, Laksamana tetap meminta persetujuan Menteri Keuangan yang kemudian dituangkan dalam bentuk surat persetujuan. "Kita harapkan beliau memberikan penjelasan bahwa surat itu benar-benar diterbitkan," kata Juniver. Surat persetujuan itu keluar pada 7 Juli 2004, setelah dua tanker milik Pertamina dijual pada 11 Juni 2004. Juniver membantah keterlambatan surat persetujuan menteri keuangan sebagai suatu kesalahan. Menurut dia, meski tanker dijual pada 11 Juni 2004, tetapi penyerahan kepada pembeli, Frontline, dilaksanakan pada September 2004. Juniver mengatakan, sejumlah ahli juga akan dihadirkan sebagai saksi yang meringankan Laksamana, antara lain ahli pidana, ahli perbankan, ahli keuangan, dan ahli korporasi. Selain Laksamana, Kejaksaan Agung menetapkan dua pejabat Pertamina yang lain, mantan Direktur Keuangan Alfred Rohimone dan mantan Dirut Arifi Nawawi, sebagai tersangka. Kasus VLCC bermula pada 11 Juni 2004 ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker VLCC milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, itu diduga tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Kasus itu diperkirakan merugikan keuangan negara sekira 20 juta dolar AS. Namun demikian, Kejaksaan Agung masih menunggu perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007