Jakarta (ANTARA News) - Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa terancam diberhentikan dan dikenai sanksi pidana, karena terlambat menyampaikan temuan yang berunsur pidana dalam kasus dugaan aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR kepada pihak berwenang, kata pakar hukum pidana, Romly Atmasasmita. "Ada masalah hukum serius, karena BPK telah melakukan kebohongan publik di hadapan DPR RI, dan juga kepada masyarakarat luas, terutama dengan keterlambatan laporan BPK mengenai temuan dugaan aliran dana BI," kata dosen senior ilmu hukum pidana di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu di Jakarta, Senin. Menurut Romly, dalam UU BPK Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 8 disebutkan bahwa BPK paling lama satu bulan sejak mengetahui adanya unsur pidana dalam sebuah temuan harus melaporkan kepada pihak berwenang. Sedangkan, ia mengemukakan, laporan tertulis Ketua BPK Anwar Nasution kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai dugaan aliran dana BI pada tahun anggaran 2003 baru dilakukan Nopember 2006. Pertanyaannya, menurut dia, mengapa untuk menemukan unsur pidana tersebut, BPK telah menghabiskan waktu tiga tahun terhitung sejak laporan triwulan III 2003. "Atas dasar fakta hukum itulah, BPK telah melanggar ketentuan Pasal 28 UU BPK yang menegaskan bahwa anggota BPK dilarang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang," kata anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) itu. Ia menyatakan, akibat hukum dari pelanggaran tersebut maka BPK dapat diancam dibentikan dengan tidak hormat sesuai ketentuan Pasal 19 huruf e, karena telah melanggar ketentuan Pasal 28 dengan ancaman sanksi pidana sebagaimana dimuat dalam ketentuan pasal 36 UU Nomor 15 tahun 2006. Dikatakan Romly, proses pembuktian kasus aliran dana ini sama rumitnya dengan kasus BLBI dan tidak akan tuntas dalam waktu semusim kecuali ada kemauan politik pemerintah untuk segera menuntaskan kasus ini sehingga menjadi terang benderang. "Jelas siapa yang menepuk di dulang terpercik muka sendiri," katanya. Ketua BPK Anwar Nasution pada Nopember 2006 mengirimkan surat kepada KPK yang berisi dugaan penyelewengan dana dari BI kepada DPR dan sejumlah penegak hukum. Dalam surat itu disebutkan, pada 22 Juli 2003, rapat Dewan Gubernur BI memutuskan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar. Namun, dana itu pada akhirnya diberikan kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 senilai Rp31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Dana selebihnya, Rp68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi dan mantan deputi gubernur senior BI dalam kasus BLBI. KPK sampai saat ini belum mencapai kesimpulan bahwa aliran dana tersebut merupakan perbuatan korupsi dan masih memerlukan bahan dan keterangan dari berbagai pihak yang diduga mengetahui aliran tersebut. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007