Kupang (ANTARA News) - Bantuan yang diberikan Australia kepada para nelayan asal Pulau Rote dan Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), serta para nelayan lainnya di wilayah timur Indonesia, dinilai sebagai salah salah satu taktik politik negeri Kanguru itu untuk"meninabobokan" Indonesia agar tidak mempersoalkan MoU BOX 1974. "Saya juga agak terkejut ketika Jakarta menerima tawaran Canberra soal program pemberdayaan nelayan tradisional di Indonesia bagian timur. Ini hanya taktik Australia untuk 'meninabobokan' kita agar tidak mempersoalkan MoU BOX 1974," kata pengamat hukum internasional, DW Tadeus SH. MHum ,di Kupang, Selasa. Dosen hukum laut internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu mengemukakan pandangannya ketika ditanya ANTARA tentang kemungkinan mendiplomasikan kembali persoalan nelayan tradisional Indonesia berdasarkan MoU BOX 1974 di bawah pemerintahan Perdana Menteri Australia yang baru, Kevin Rudd. Lempeng Kontinental 1974 atau yang lebih populer dengan sebutan "MoU BOX", kata dia, membolehkan nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan dan biota laut lainnya di sekitar Pulau Pasir (Ashmore Reef), Cartier Island, Scott Island, Seringapatam dan Browse karena memiliki potensi ikan yang sangat besar. Hanya, Australia secara sepihak melarang nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan di gugusan Pulau Pasir itu sejak 2002, dengan alasan konservasi lingkungan, meski pun MoU BOX 1974 secara jelas mengatur tentang ketentuan menangkap ikan, hak dan kewajiban nelayan serta sejumlah ketentuan lainnya. Bagi masyarakat nelayan asal Pulau Rote, kata dia, kawasan sekitar Pulau Pasir merupakan hak ulayat yang melekat turun-temurun untuk mencari ikan dan biota laut lainnya, selain menjadikan pulau tersebut sebagai tempat peristirahatan. Belum lama ini, pemerintah Australia melalui Duta Besarnya di Jakarta, Bill Farmer menyerahkan bantuan senilai Rp6 miliar untuk kegiatan budidaya rumput laut dan bunga karang bagi nelayan asal Pulau Rote dan Kupang guna meningkatkan kesejahteraan dan memberikan mata pencaharian alternatif bagi keluarga para nelayan. Langkah-langkah yang diambil Australia itu, kata Farmer, untuk mencegah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di wilayah perairan Australia. "Kami akan melakukan sesuatu yang bisa untuk bagaimana mereka (nelayan) bisa mencari ikan secara legal," katanya menambahkan. Farmer mengatakan bahwa Australia dan Indonesia sudah menyepakati batas-batas pengawasan dan pelaksanaan pengaturan perikanan sementara, yang merujuk pada MoU tentang Operasi Nelayan Tradisional Indonesia di Wilayah Zona Perikanan Eksklusif (ZPE) dan Lempeng Kontinental tahun 1974 atau sering disebut Kotak Perjanjian (MoU BOX). Dalam hubungan dengan itu, Dinas Perikanan dan Kelautan NTT juga akan memperluas areal budidaya rumput laut dan komoditi perikanan lainnya untuk mencegah aktivitas penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Australia bagian utara. "Dengan memperluas areal budidaya rumput laut, sponge (bunga karang) dan komoditi lainnya, para nelayan akan lebih berdaya dan melupakan kebiasaan mencari ikan di laut lepas hingga memasuki perairan Australia," kata Kadis Perikanan dan Kelautan NTT, Ir Afliana Salean MSi, di Kupang, Senin (26/11). Tadeus mengatakan program pemberdayaan yang diluncurkan Australia yang kemudian disahuti secara efektif oleh Dinas Perikanan dan Kelautan NTT itu baik adanya bagi upaya peningkatan kesejahteraan para nelayan. Hanya, di sisi lain, tambah Tadeus, program tersebut justru merupakan sebuah taktik politik negeri Kanguru untuk "meninabobokan" Indonesia agar tidak mempersoalkan MoU BOX 1974 yang memberi ruang bagi nelayan tradisional Indonesia mencari ikan di Zona Perikanan Eksklusif (ZPE). "Jika kita pandai dalam mengolah diplomasi, maka program pemberdayaan itu tetap dilanjutkan sambil terus merundingkan kembali MoU BOX tersebut," katanya. Menurutnya, perundingan harus dilakukan secara tripartit antara Indonesia, Australia dan Timor Leste karena wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia sudah menjadi sebuah negara baru yang tumbuh di tepian Laut Timor. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007