Nusa Dua (ANTARA News) - Dalam satu tahun terakhir, WWF mencatat semakin banyaknya rekor cuaca yang terpecahkan akibat kejadian cuaca ekstrem yang tergolong luar biasa, seperti penyusutan lapisan es di Kutub Utara, beberapa kasus kebakaran hutan dan banjir terburuk yang terjadi di belahan dunia. "Kejadian-kejadian ini membutuhkan tindakan nyata terkait perubahan iklim," kata Direktur Program Perubahan Iklim WWF Internasional, Han Verolme, di Nusa Dua, Bali, Senin. Di sela-sela KTT Internasional Perubahan Iklim (UNFCCC) itu, Verolme mengatakan menjaga kenaikan suhu rata-rata global agar di bawah dua derajat Celsius adalah kunci untuk mencegah kejadian ekstrem berbahaya seperti yang terjadi sepanjang tahun 2007. Ia mencontohkan Jakarta mengalami curah hujan yang tinggi pada Februari yang kemudian memicu terjadinya salah satu banjir terburuk dalam sejarah kota itu. "Banjir tersebut menyebabkan sedikitnya 400.000 warga Jakarta kehilangan tempat tinggal, merebaknya penyakit pasca banjir dan menimbulkan kerugian ekonomi hingga mencapai 450 juta dolar AS. Hal senada disampaikan Direktur Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia, Fitrian Ardyansyah mengatakan, sekarang ini Indonesia sudah merasakan dampak pemanasan Global. Karena itu pemerintah harus mendorong agar KTT di Bali tentang Perubahan Iklim menghasilkan kesepakatan yang berpihak bagi masa depan bumi. Fitrian juga mengatakan, tahun 2007 juga mencatat berlanjutnya kemarau panjang di beberapa belahan dunia misalnya Amazon, Australia, Afrika dan beberapa tempat di Cina. Kemarau panjang juga memicu terjadinya salah satu kebakaran terburuk yang pernah terjadi di Eropa Timur dan Selatan serta bagian barat Amerika Serikat. Sementara itu Pimpinan Program Perubahan Iklim WWF Eropa Dr Stephan Siner dan Direktur Eksekutif Greenpeace Asia-Tenggara, Emmy Hafild berharap, dalam KTT internasional UNFCCC di Bali, saatnya negara-negara kaya menunjukkan keseriusannya untuk menghentikan pemanasan global melalui komitmen pengurangan emisi sedikitnya 30 persen pada tahun 2020. "Waktu sudah hampir habis, kita harus memanfaatkan sistem Kyoto Protokol untuk memperluas pasar karbon global dan menstimulasi untuk teknologi bersih," ujar Stephan. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007